Amang dan Odih Beserta Onah


Tak satupun perempuan di SMA Kahyangan yang kini tidak mengenal Amang. Dari mulai siswi centil kelas X sampai siswi yang sok jaim di kelas XII. Ibu-ibu guru, teteh-teteh staff TU, bahkan bi Onah, janda muda yang sudah magang di SMA Kahyangan sejak 1973 pun mengidolakan remaja 17 tahun ini. Amang layaknya selebritis. Bintang super yang membuat bintang lain seolah lampu lima watt.


Demam Amang bermula saat ia mengantarkan tim sepakbola sekolahnya juara Asia Tenggara. Tak hanya terpilih sebagai pemain terbaik dalam kompetisi tersebut, ia pun menyabet Golden Slippers dengan menyumbangkan (entah ikhlas atau tidak) 187 gol bagi timnya. Hal itu memudahkannya mendapat segala bentuk fasilitas, dari mulai angkot pribadi sampai bodyguard dan heartguard. Tidak berhenti di situ, Amang pun disibukkan dengan tawaran bermain dari beberapa klub lokal maupun interlokal. Namun Amang segera menyampaikan ketidaksiapannya. Ia belum lulus les karate dan taekwondo untuk ikut berlaga di liga-liga sepakbola negeri ini.

Sayang, dibalik segala kemewahan dan ketenaran yang  Amang raih, ada pilu di hati seorang mantan sahabatnya. Adalah Odih yang kini harus merasakan sakitnya dilupakan. Amang kini tak pernah lagi menempatkannya sebagai starter. Padahal dulu, Odih dan Amang lebih akrab dibanding Upin dan Ipin, lebih serasi dibanding Unyil dan Usro, dan selalu sehati layaknya Dadang dan Dudung. Namun sejak menjadi artis dadakan, Amang lebih sering membangkucadangkan Odih. Bahkan menurut media lokal, Odih akan segera dimasukan bursa transfer dengan status free. Sungguh kejam memang sikap si Amang. Ia seolah kacang lupa kulitnya. Habis manis sepah dibuang. Menggunting dalam lipatan. Api dalam sekam. Tak ada lagi ajakan ke kantin bi Onah. Tak ada lagi ajakan mengolah si kulit bundar jadi persegi. Tak ada lagi.

Namun hal itu tak lantas membuat cep Odih berduka atau terjerumus ke dalam dunia galau yang nista. Meski seringkali ia mengenang Amang saat ia terduduk sendiri di atas jemuran. Odih tetap menyelipkan ribuan doa di sela-sela sujudnya.

***


“Kenapa kau terdiam membisu layaknya burung hantu yang teraniaya?”
Odih menoleh ke arah suara. Ia segera tersenyum pada laki-laki jangkung berkumis tipis dan beralis tebal itu.
“Tak apa Mang.” Jawab Odih singkat sambil terus melanjutkan renungannya di atas jemuran. Amang segera menemaninya di sana.
“Apa kau masih membayangkan perempuan itu Dih?”
Odih mengangguk.
“Entah berapa kali telah kucuri pandangannya, namun tetap saja tak kumiliki hatinya.”
Odih menghela nafas, kemudian menghembuskannya dari sudut sempit di bawah pinggangnya.
“Ah, seandainya aku kaya Dih. Tentu akan kubelikan bulan untuk kau berikan pada bi Onah.” Ungkap Amang.
“Tak perlu Mang. Aku sudah cukup bahagia saat kau selalu mau berbagi uang jajan untuk jajan di warungnya.”
“Semuanya Rp. 371.500 Dih. Terhitung sejak pinjaman pertamamu senilai Rp. 1500 waktu beli Teh Cangkir dan Pare Mas, Senin 15 September 2011 seusai pelajaran Bahasa Sunda.” Jelas Amang sambil mengeluarkan catatan keuangan yang ia selalu gantungkan di lehernya.
“Yah semoga segala amal baikmu diterima di sisiNya Mang.”

***

Tiga minggu setelah kepergian Amang, Odih merasakan efek samping yang lain. Ia yang tak lagi bisa mampir ke warungnya bi Onah, merasakan kerinduan yang teramat sangat. Kerinduan yang telah membuatnya berbuat tidak logis, cenderung anarkis, berbau mistis, meski sedikit romantis. Ia pergi ke warung bi Onah tanpa menggenggam satu rupiah pun. Berharap ada satu keajaiban yang bisa mengobati rasa rindu di hatinya.

Pepatah mengatakan, ‘When there’s a will, there is a smith, Will Smith.’ Odih yang hanya berani berdiri di samping tiang penyangga atap warung, merasakan panggilan termanis dalam hidupnya. Bi Onah dengan lembut memanggil dan memberi isyarat untuk menghampirinya.
“Maukah kau memberikan ini pada pujaan hatiku, Amang bin Ma’ruf. Meski mungkin aku hanyalah punduk yang merindukan bulan, biarlah aku menjadi punduk terseksi untuknya.”

Cinta Odih meledak. ‘Duar.’ Hatinya sangat kacau. Seolah dilanda gempa 12 skala richter hingga menimbulkan tsunami air mata yang kemudian menghanyutkannya ke pojok pos satpam.

Butuh waktu dan biaya yang lebih bagi Odih untuk meredam dentuman luka di hatinya. Puluhan bungkus tisu yang ditawarkan pegawai koperasi saat ia menangis nyaris tak bersisa. Ia nyaris saja mengambil tisu yang ke 31 saat tiba-tiba ia teringat kata-kata Almarhum kakeknya,
“Dih, saat cinta membuatmu terluka, kembalilah kepada yang menciptakan cinta itu.”

Odih segera mengelap wajahnya dengan seragam batik kotak-kotaknya. Ditujunya mushola sekolah dengan langkah gontai. Niat Odih untuk berkhalwat siang itu terusik oleh suara sesegukan dari pojok mushola. Betapa kaget dirinya saat mendapati suara tersebut keluar dari mulut Amang, sahabatnya. Odih sempat ragu untuk menghampirinya, namun ia tak tega saat suara sesegukan Amang semakin menjadi. Terlebih saat Amang mencoba menggunakan speaker mushola untuk mempernyaring tangisannya. Odih benar-benar tak tega. Ia segera menghampiri sahabatnya.

“Maafkan aku Dih. Maaf.”

Awalnya Odih tak mengerti apa yang telah terjadi dengan Amang. Namun saat Amang menunjukkan surat pencabutan beasiswa dan gelar best player dari FIFA, Odih baru mengerti kepedihan yang dirasakan Amang. Rupanya, kasus Lance Amstrong telah merembet kepada diri seorang Amang.
Yah, akhirnya Amang dan Odih kembali seperti Upin dan Ipin. Amang bahkan tak ingin membuka surat cinta dari bi Onah untuknya. Ia langsung menerbangkannya ke langit SMA Kahyangan. Ia tak ingin persahabatan mereka terusik, tak ingin membangku cadangkan lagi sahabat yang selalu ada untuknya.

Tidak ada komentar

Diberdayakan oleh Blogger.