Bangku Cadangan
Tak satupun perempuan di SMA Kahyangan yang tidak mengenal Amang. Dari mulai siswi centil kelas X sampai siswi yang sok jaim di kelas XII. Ibu-ibu guru, teteh-teteh staff TU, satpam, bahkan bi Onah, janda muda yang sudah magang di SMA Kahyangan sejak 2003 pun hapal betul dengan remaja 17 tahun ini. Amang layaknya idola. Bintang super yang bikin bintang lain seolah lampu lima watt. Wajahnya halus mulus bak mobil antik yang baru dipermak. Tak satupun jerawat yang berani singgah apalagi bermukim di sana. Dengan tinggi 170 cm dan berat badan 600 ons, kapten tim sepak bola sekolah itu sering menjadi sosok pengisi lamunan ABG-ABG yang ngantuk di kelas.
Demam Amang bermula saat ia mengantarkan tim sepakbola sekolahnya juara Asia Tenggara. Tak hanya itu, ia pun kemudian terpilih sebagai pemain terbaik dalam kompetisi tersebut. Ia pun menyabet Golden Boots dengan menyumbangkan (entah ikhlas atau tidak) 18 gol bagi timnya. Tak hanya beasisiwa sekolah yang ia dapat, tawaran bermain pun berdatangan dari beberapa klub lokal sampai nasional. Namun Amang segera menyampaikan ketidaksiapannya. Ia belum lulus les karate dan taekwondo untuk ikut berlaga di liga-liga sepakbola negeri ini.
Sejak itupun kehidupan sosialnya berputar 180 derajat fahrenheit. Stratanya naik dari pojokan kelas menjadi pusat kelas. Permintaan pertemanan di jejaring sosialnya pun tiba-tiba membludak, bak ibu-ibu ngantri minyak tanah. Tak hanya nomer hape dan pin BBnya yang kemudian jadi rebutan, nomer sepatu, nomer celana bahkan nomer induk siswa nya pun sempat menjadi tren gosipan anak-anak perempuan penghuni setia kantin bi Onah.
Sayang, dibalik kebahagiaan si Amang ada duka pada wajah Odih, mantan kawan sebangkunya. Odih yang biasanya selalu menemani Amang ke mana pun ia pergi, kini tak lagi mendapat tempat utama di hati Amang. Dulu, Odih dan Amang lebih akrab dibanding Upin dan Ipin, lebih serasi dibanding Unyil dan Usro, dan selalu sehati layaknya Dadang dan Dudung. Namun sejak menjadi artis dadakan, Amang lebih sering membangkucadangkan Odih. Bahkan menurut media lokal, Odih akan segera dimasukan bursa transfer dengan status free. Sungguh kejam memang sikap si Amang. Ia seolah kacang lupa kulitnya. Habis manis sepah dibuang. Menggunting dalam lipatan. Api dalam sekam. Tak ada lagi ajakan ke kantin bi Onah. Tak ada lagi ajakan mengolah si kulit bundar jadi persegi. Tak ada lagi.
Namun hal itu tak lantas membuat cep Odih berduka atau terjerumus ke dalam dunia galau yang nista. Meski seringkali ia mengenang Amang saat ia terduduk sendiri di atas jemuran. Odih tetap menyelipkan ribuan doa di sela-sela sujudnya.
***
“Kenapa kau terdiam membisu layaknya burung hantu yang teraniaya?”
Odih menoleh ke arah suara. Ia segera tersenyum pada laki-laki jangkung berkumis tipis dan beralis tebal itu.
“Tak apa Mang.” Jawab Odih singkat sambil terus melanjutkan renungannya di atas jemuran. Amang segera menemaninya di sana.
“Apa kau masih membayangkan perempuan itu Dih?”
Odih mengangguk.
“Entah berapa kali telah kucuri pandangannya, namun tetap saja tak kumiliki hatinya.”
Odih menghela nafas, kemudian menghembuskannya dari sudut sempit di bawah pinggangnya.
“Ah, seandainya aku kaya Dih. Tentu akan kubelikan bulan untuk kau berikan pada bi Onah.” Ungkap Amang.
“Tak perlu Mang. Aku sudah cukup bahagia saat kau selalu mau berbagi uang jajan untuk jajan di warungnya.”
“Semuanya Rp. 371.500 Dih. Terhitung sejak pinjaman pertamamu senilai Rp. 1500 waktu beli Teh Cangkir dan Pare Mas, Senin 15 September 2011 seusai pelajaran Bahasa Sunda.” Jelas Amang sambil mengeluarkan catatan keuangan yang ia selalu gantungkan di lehernya.
“Yah semoga segala amal baikmu diterima di sisiNya Mang.”
***
Siang itu Odih memberanikan diri untuk berkunjung ke warung bi Onah sendirian. Meski ia sadar, uang jajannya tak lagi tersisa setelah tadi siang para guru melakukan tagihan cicilan LKS. Kerinduan telah membuatnya berbuat nekad. Setelah hampir tiga minggu terpendam, ia tak lagi bisa membendungnya.
Yah, sepeti yang sering dikatakan Forrest Gump, hidup itu seperti sekotak coklat, kita tidak pernah tahu apa yang akan terjadi. Odih yang hanya berani di samping tiang penyangga atap warung, merasakan panggilan termanis dalam hidupnya. Bi Onah dengan lembut menyebut namanya dan memberi isyarat untuk menghapirinya. Hati Odih yang sempat dilanda badai Sandy, tiba-tiba saja dipenuhi indahnya Aurora cinta. Ia segera menghampiri, tak ingin membuat dambaan hatinya menunggu.
“Odih, maukah kau melakukan sesuatu untukku?”
“Tentu bi Onah. Tanpa kau minta pun, akan kulakukan untukmu.” Jawab Odih dengan pandangan penuh harapnya.
“Sampaikan ini pada pujaan hatiku, Amang bin Ma’ruf. Meski mungkin aku hanyalah punduk yang merindukan bulan, namun aku tak kuasa membelenggu rasa yang tercipta untuknya.” Jelas bi Onah sambil memberikan sepucuk amplop imut merah muda bermotif Angry Birds.
Hati Odih meledak. Ia tak kuasa menahan kepedihan itu berlama-lama. Tanpa sempat mengucap apapun, ia berlari pergi meninggalkan bi Onah. Ia terus saja berlari, menerobos ratusan siswa yang tengah berlatih upacara di tengah lapangan. Ia tak peduli makian dari siswa-siswa yang tersungkur ke ring basket tertabrak olehnya. Ia terlalu sakit untuk mendengar. Hatinya seolah dilanda gempa 12 skala richter hingga menimbulkan tsunami air mata yang kemudian menghanyutkannya ke pojok pos satpam.
Butuh waktu dan biaya yang lebih bagi Odih untuk meredam dentuman luka di hatinya. Puluhan bungkus tisu yang ditawarkan pegawai koperasi saat ia menangis nyaris tak bersisa. Ia nyaris saja mengambil tisu yang ke 31 saat tiba-tiba ia teringat kata-kata Almarhum kakeknya,
“Dih, saat cinta membuatmu terluka, kembalilah kepada yang menciptakan cinta itu.”
Odih segera mengelap wajahnya dengan seragam batik kotak-kotaknya. Ditujunya mushola sekolah dengan langkah gontai. Niat Odih untuk berkhalwat siang itu terusik oleh suara sesegukan dari pojok mushola. Betapa kaget dirinya saat mendapati suara tersebut keluar dari mulut Amang, sahabatnya. Odih sempat ragu untuk menghampirinya, namun ia tak tega saat suara sesegukan Amang semakin menjadi. Dua meter, Amang belum juga menyadari kehadirannya. Satu meter, belum juga. Saat Odih berada benar-benar di depannya, barulah Amang mengangkat kepalanya. Ia pun segera memeluk kaki Odih sambil menaikan volume tangisnya.
“Maafkan aku Dih. Maaf.”
Awalnya Odih tak mengerti apa yang telah terjadi dengan Amang. Namun saat Ia menunjukkan surat pencabutan beasiswa dan gelar best player dari FIFA, Odih baru mengerti kepedihan yang dirasakan Amang. Rupanya, kasus Lance Amstrong telah merembet kepada diri seorang Amang.
Yah, akhirnya Amang dan Odih kembali seperti Upin dan Ipin. Amang bahkan tak ingin membuka surat cinta dari bi Onah untuknya. Ia langsung menerbangkannya ke langit SMA Kahyangan. Ia tak ingin persahabatan mereka terusik, tak ingin membangku cadangkan lagi sahabat yang selalu ada untuknya.
atosan.
Leave a Comment