Dibalik Puisi Tiga Bait


Rumah permanen di sudut gang itu terasa sepi. Rumput meninggi. Daun-daun kering berserakan. Keramik merah bata yang menghampar pada teras rumahnya mulai diselimuti debu.
Ada perasaan haru saat dirinya mulai menapaki pekarangan, menyentuh bunga-bunga yang dulu tak pernah lepas dari tangan dingin ayahnya. Matanya berkeliling mencoba menghirup kenangan tersisa dari laki-laki tangguh yang telah membesarkannya seorang diri.


“Kamu yakin mau tinggal di rumah itu sendiri?” Tanya Bi Fani sebelum ia pamit pulang tadi siang.
“Engga sendiri koq bi, kan ada Umar. Lagian ada yang mesti Zaid pecahin Bi.“ Jawabnya sambil mengemas tas gendong pemberian ayah.
“Oh, itu. Ya udah. Bibi cuman pesen, kamu jangan terlalu maksain buat mikirin itu.” Zaid tersenyum, meyakinkan perempuan cantik yang sangat mirip dengan ayahnya.

Tentu Zaid telah memikirkan hal ini. Hidup tanpa orang tua dengan segala aktivitasnya di sekolah belum tentu dapat ia jalani dengan baik. Namun ini adalah tantangan. Terlebih ayah telah mengajarinya untuk hidup mandiri. Dari mulai memasak makanan siap saji, hingga hidangan a’la restoran. Dari mulai menggunakan mesin cuci, hingga memperbaiki sepeda motor Astrea 800 nya.
Ayah memang ingin menjadikannya laki-laki yang tangguh. Laki-laki yang tak hanya pintar, tapi juga cerdas. Karenanya, sepeninggal ayah, Zaid mendapat tantangan kecil. Tantangan untuk memecahkan teka-teka tentang hidup. Teka-teki yang baru ia terima dari bi Fani di hari ke tujuh tahlilan. Ayah memang bukanlah seorang perancang teka-teki, detektif atau mantan anggota kepolisian. Ia hanyalah seorang pemimpi. Penikmat lagu-lagu Ona Sutra dan Rhoma Irama. Hidupnya diabdikan pada sebuah sekolah dasar negeri di Cianjur. Sisanya, ia lebih sering berada di perkarangan rumah atau bengkel pribadinya di samping dapur.

Permainan teka-teki ini dimulai sejak Zaid membawakannya komik karangan Aoyama Gosho, Detektif Conan. Awalnya mereka sering beradu analisa tentang kasus-kasus yang terjadi dalam komik tersebut. Namun selanjutnya mereka larut dalam analisa-analisa itu, membawa fantasi ke dunia nyata. Zaid pun sangat sumringah saat ayah mengajaknya nonton film National Treasure yang diperankan Nicholas Cage. Bahkan saat sekuelnya muncul, Zaid yang mengingatkan ayah untuk segera mencari DVD nya.
 Zaid tersenyum mengenang almarhum ayahnya. Pandangannya kemudian beralih pada selembar kertas quarto yang rapi terlaminasi.
“Ya Allah, beri aku petunjuk. Engkau yang Maha Tahu. Engkau yang Maha pemberi petunjuk.”
Sapuan angin di awal bulan Juli menerbangkan puluhan daun yang menguning. Mengantarkan langkah Zaid ke dalam rumah peninggalan ayah.

***

“Sudah kau pecahkan teka-teki dari almarhum ayahmu itu?” Tanya Umar sambil menikmati kwaci biji labu favoritnya.
“Belum. Coba kamu liat neeh.” Jawab Zaid menyodorkan kertas teka-teka di atas meja pada sohib sekolahnya. Sengaja ia mengajak Umar untuk menemaninya di rumah, selain karena Umar siswa pendatang dari Cianjur selatan, ia pun dikenal jujur dan polos.
“Hmm…” Umar membolak-balik kertas quarto terlaminasi yang berisikan tiga bait puisi tanpa judul itu.
“Gimana?” tanya Zaid penasaran. Umar terpaku tak menjawab. Melihat aksi sohibnya yang terlihat serius, Zaid beranjak dari meja belajarnya dan duduk di samping Umar.

 Sejenak tutup matamu.
Relakan kenangan pergi.
Kau akan melihat aku,
Saat langkah bulan terjegal awan.
Untuk menemui sepenggal do’a yang tersisa,
Butakan matamu.
Tutup mulut dan telingamu.
Ikat tangan dan kaki,
Biarkan udara memenuhi hatimu.
 Kunci kan terbuka saat kau mampu,
Hidup dengan 2 pegangan
Dua pegangan yang tak terbantahkan
Oh laki-laki pemilik kasabaran dan keteguhan.
Kedua sahabat itu tertegun.

 “Aha. Siniin Mar. Kayaknya aku tahu maksud dari bait pertama.” Ucap Zaid sambil menarik kertas terlaminasi itu dari tangan Umar. Ia bergegas membawanya ke atas meja belajar. Menarik penggaris dan pisau kater dari tempat pensilnya.
“Lho? Koq dibuka laminasinya Id?” Tanya Umar, kaget.
“Itulah maksud dari setengah bait pertama, “Relakan kenangan pergi.”
 Rahasia pertama pun terkuak. Kertas yang terlaminasi itu ternyata bukan satu lembar, tapi tiga. Namun, dua lembar sisanya terlihat polos, tanpa puisi atau pesan.
“Trus diapain?” Tanya umar penasaran. Said tak menjawab. Ia segera menutup gorden dan kamar. Membawa ke tiga lembar kertas tersebut ke kolong meja belajarnya.
“Lihat nih Mar!” Umar segera menengok ke bawah meja. Pupilnya membesar. Mulutnya ternganga. Ia benar-benar terkejut dengan apa yang ia dapati di sana. Sebuah tulisan menyala dari salah satu kertas tersebut. Sedikit bias memang, namun ia masih dapat membacanyanya. Mawar.
“Kau akan melihat aku, saat bulan terjegal awan. Hmm… ternyata itu maksudnya.” Ucap Umar menatap kagum terhadap sahabatnya.
“Fosfor Mar. Ayah menggunakan cat khusus yang mengandung fosfor.” Jelas Said.
“Oh enya. Glow in the dark nya?”  Said mengangguk.
“Trus maksud mawar ini apa?” Tanya Umar lagi, penasaran.
Kali ini Zaid tak menjawab. Ia malah serius dengan ketiga kertas tersebut. Matanya beralih dari satu kertas ke kertas lain.
Umar tahu sahabatnya bukan tengah melakukan aksi konyol. Ia pun ingin ambil bagian. Dipungutnya kertas yang bertuliskan puisi. Dengan gaya Kogoro Mouri, Umar mencoba menerawang dengan cahaya yang masuk lewat jendela. Alisnya naik. Matanya menelisik setiap baris kata yang tertuang dalam bait kedua.  
 “Melati Mar.” Ucap Said tiba-tiba.
“ Melati? Maksudnya?”

“Cium kertas ini!” Said menyodorkan salah satu kertas polos yang ada di tangannya.
“Iya, wangi melati. Koq bisa ya?”
“Farfum.” Jelas said, singkat
“Oh, iya juga ya. Bait ke tiga kayaknya aku tau Id.” Ucap Umar sambil terus tersenyum.
“Hmm… Jelaskan!” Pinta said, serius.
“Dua pegangan yang tak terbantahkan, maksudnya pasti Al-Qur’an dan As Sunah.”
“Aku juga berfikir begitu Mar. Tapi kaitannya dengan Melati dan Mawar apa?”
Umar terdiam. Sesaat, keduanya tertegun kembali. Umar menatap kertas itu sambil terus merebahkan dirinya pada kasur busa, diantara serakan buku-buku yang belum sempat Zaid rapihkan. Sementara Zaid kembali ke meja belajarnya, menerawang melalui jendela, halaman yang baru ia rapihkan beberapa jam ke belakang.

 “Ayahmu kayaknya tergesa waktu nulis ini ya Id?”
“Maksudmu?”
“Liat nih. Di baris ke dua, ayahmu menulis dua dengan angka, tapi pada baris berikutnya, pake hurup.” Jelas Umar sambil menyodorkan kertas di tangannya pada Zaid.
Kunci kan terbuka saat kau mampu,
Hidup dengan 2 pegangan
Dua pegangan yang tak terbantahkan
Oh laki-laki pemilik kasabaran dan keteguhan.

Zaid menatap tulisan tersebut.Ia ingat betul bagaimana ayah selalu teliti dengan pekerjaan-pekerjaannya. Sementara kekeliruan ini terlalu fatal. ‘Ayah pasti sengaja menulis seperti ini.’ Pikirnya sambil terus mencoba menangkap petunjuk dari bait tersebut.
“Kunci, Hidup, Dua, Oh.” Guman Umar, membaca kata pertama dari tiap baris bait puisi tersebut.
“KHDO… H Dua O, Air Mar, Air!” Sorak Zaid sambil terus bangkit, berlari ke luar kamar. Umar melongo. Ia hanya bisa ikut senang melihat sahabatnya sumringah dengan temuannya.
Tak lama berselang, Zaid kembali dengan baskom berisi air. Dengan hati-hati Zaid menenggelamkan lembaran kertas itu satu persatu. Tak ada reaksi yang terjadi saat dua kertas pertama dimasukan. Yang tersisa di tangannya hanya kertas yang bertuliskan puisi ayahnya.
“Kamu yakin mau membasahinya juga Id? Itukan titipan almarhum ayahmu.”

Zaid terdiam. Ia menjadi tak yakin dengan temuannya. Apa benar petunjuk itu mengarah pada air? Bagaimana kalau tak terjadi apa-apa? Sementara tulisan ayahnya akan hancur, luntur terkena air.
“Bismillahirrohmanirrohim.” Ucapnya sambil terus melepas kertas bertuliskan puisi ayahnya ke dalam baskom. Umar melihat dengan tegang, ia menahan ludah di tenggorokannya. Senyap, mereka menanti dengan penuh harap. Perlahan sesuatu terjadi pada kertas itu. Hurup-hurup terbentuk dari perbedaan warna yang muncul pada permukaan kertas saat air benar-benar membasahinya. Kedua sahabat itu kemudian tersenyum. Meski pikiran Zaid masih dipenuhi tanda tanya, namun ia cukup puas dengan apa yang telah diungkapnya.

  ***  

 Barisan rak buku kayu jati berdiri tegap, memberi sedikit ruang bagi para penikmat sajiannya. Kipas angin tua menggantung, berputar perlahan, menahan suaranya agar tak mengusik ketenangan anak-anak yang tengah mengisi jiwa dan pikirannya. Seorang anak laki-laki berpenampilan rapi tergesa melangkah masuk. Ia sempat hendak menuju rak katalog, berniat mencari sendiri buku yang tersusun berdasar konsep DDC. Namun terhenti. Dengan pasti, ia membelokan kaki menuju Bu Yati, pustakawan yang sudah sangat mengenalnya.
“Eh langganan ibu. Tumben ke sini ga bawa buku, ga niat minjem hari ini? ” tanya bu Yati ramah.
“Emh, saya lagi nyari buku tentang tanaman hias bu. Di rak sebelah mana ya?”
“Lorong ke empat sebelah kiri.” Bu Yati enggan berbasa-basi, ia melihat keseriusan pada wajah Zaid.
Setelah berterimakasih, Zaid langsung meluncur ke rak yang ditunjukan bu Yati. Jari dan matanya berkoordinasi mencari buku yang tepat dengan cepat. Tak lebih dari satu menit, enam buah buku bersampul tebal sudah berada dalam pangkuannya. Ia segera menuju meja kosong di sudut ruangan.
'Mawar, Melati, Desert.' Zaid berguman sendiri saat menelaah setiap halaman dari buku yang ia tumpuk di samping kiri wajahnya. Menit berselang, Zaid belum juga melihat titik terang. Ia tak menemukan kaitan antara Mawar dan Melati selain bahwa keduanya adalah jenis bunga. Petunjuk terakhir pun tak banyak membantu. Meski tanpa membuka kamus ia sudah mengetahui arti kata tersebut.
“Eh Id, ini bunga yang ada di depan rumah kamu kan?” Zaid tersentak saat Umar menyodorkan buku “Merawat Adenium” tepat ke depan mukanya.
“Mar!” Zaid memberikan tatapan peringatan terhadap sahabatnya itu.
“Sori Id. Lagian kamu serius amat.” Zaid tak menjawab. Ia kembali pada tumpukan bukunya, membuka buku terakhir tentang Ragam Jenis Melati.
Umar akhirnya mengambil tempat. Membuka buku yang dibawanya dengan sedikit malas. Sambil meletakan wajahnya pada meja, ia mulai membaca.
 “Adenium merupakan tumbuhan yang berasal…”
“Mar!” Sekali lagi Zaid mengingatkan sahabatnya. Inilah salah satu alasan Zaid tidak pernah mengajak sahabatnya ke perpustakaan. Umar terdiam, kemudian membaca kembali. Untuk beberapa saat, Umar mampu menahan suaranya, namun perlahan volumenya kembali meninggi.
“Sini pinjem bentar Mar.” Tanpa menunggu jawaban, Zaid menarik buku tersebut dari depan sahabatnya. Mata tajamnya sesaat terfokus pada kalimat yang terdapat pada buku itu. Kedua mata itu perlahan berbinar seiring senyum mengembang dari dua bibirnya.
“Ini dia Mar! Adenium, the desert rose atau mawar gurun. Melati itu menunjukkan warna bunganya. Putih. Mungkin setahu ayah, semua melati berwarna putih.” Jelas Zaid, menunjukan temuannya.  

“Emang ada melati yang engga putih?” Tanya Umar penasaran.
“Ada. Udah itu ga penting, yuk balik.” Ajak Said sambil membereskan buku-buku yang tadi ia baca, dan membawanya kembali ke rak.

***

Rimbun daun-daun jambu menaungi sepasang sahabat dari tusukan matahari yang mulai melangkah turun. Pot plastik kosong terduduk di samping gundukan pasir malang yang tercampur sekam bakar. Umar memegang erat Adenium Arabicum  berbunga putih dengan kedua tangannya.
“Jangan sampe jatoh apalagi patah batangnya Mar.” Pinta Zaid sambil membuka bungkusan kecil yang terbalut kresek hitam berlapis. Kedua pasang mata itu beradu saat menemukan apa yang tersembunyi dalam bungkusan tersebut.
“Itukan Micro SD.” Tunjuk umar dengan matanya.
“Iya Mar. Maksud ayah apa ya?” Zaid memainkan pikirannya, mencoba menebak-nebak. Matanya kembali pada kepingan penyimpan data berwarna hitam dalam plastik obat di tangan kanannya.
“Ya, mending buruan kita buka.” Ajak Umar sambil terus berdiri. “Eh, tapi hape kita kan jadul Id. Gimana?”
“Emh, kita beresin ini aja dulu deh.” Pinta Zaid sambil menata kembali potongan stereofoam pada dasar pot.
Butuh lebih dari 10 menit bagi Zaid dan Umar untuk mengembalikan adenium ke dalam pot, membersihkan diri dan menyalakan komputer. Umar hanya bisa memperhatikan saat Zaid dengan cekatan mempersiapkan card reader, memasang micro SD pada salah satu slotnya dan menghubungkannya dengan port USB komputer.
 “Speakernya Mar, tolong!” Tanpa menjawab, umar menekan tombol power pada speaker hitam di samping kiri monitor.
Saat semuanyanya siap, keduanya terduduk tegang menanti terhentinya putaran kursor pada layar 17 inch itu. Aplikasi pemutar video mulai menampakkan gambaran salah satu sudut kamar Zaid. Sebuah kursi plastik biru tua, dengan latar tembok polos berwarna putih susu. Zaid tahu ayahnya sengaja memilih sudut itu karena bersebrangan dengan Jendela kamar. Cahaya yang masuk dari jendela cukup membantu dalam meningkatkan kualitas video. Ayah kemudian masuk layar dari samping kanan, berkaos Djogja putih dengan celana pendek garis-garis coklat-putih selutut. Ia kemudian duduk, tersenyum. Untuk sesaat Ayah terdiam. Tampak kegugupan dalam wajahnya. Ia kemudian beranjak dari layar sejenak dan kembali bersama selembar kertas. Mulut Ayah perlahan mulai bergerak seiring suara vibrato yang keluar dari speaker.

 “Wah gagal Id. Padahal ayah udah latihan berulang-ulang buat ngapalin teks ini. Ya udah kita mulai aja ya.”
Ayah sempat berdehem sebelum melanjutkan dengan membuka lipatan kertas di tangannya.
Zaid tersenyum melihat kepolosan Ayah. Ada perasaan hangat yang mulai menyelimuti dirinya.

 “Assalamulaikum Warahmatullahi Wabarakatuh.“
Sebelumnya, ayah mau bilang, Selamat! I’m so proud of you, Muhammad Zaid Lukmanul Hakim.  Ya, meski ayah tak tahu pasti, namun ayah harap kamu menemukan pesan ini setelah memecahkan teka-teki yang ayah titipkan ke bi Fany. Ayah bukan ingin menguji kecerdasanmu, anak ayah kan emang cerdas, iya ga?Tentu saja. Tak mungkin kau berfikir ada teka-teki di balik puisi yang ayah tulis untukmu, kecuali kau cerdas.
Ayah sadar, saat kau menonton video ini, ayah takkan lagi duduk di sampingmu. Takkan lagi menemanimu membuat prakarya sekolah. Takkan lagi mengganggumu bermain Zuma. Takkan lagi mengiringi nyanyian merdumu. Ya, hal terberat saat ditinggalkan seseorang adalah merelakan kepergiannya. Menikmati kenangan yang tersisa. Tak membiarkan diri larut dalam kesedihan. Ayah ingin kau melanjutkan hidup tanpa membebani diri dengan bayang-bayang Ayah. Ayah yakin kau bisa. Seperti saat kau merelakan pudarnya tulisan ayah untuk mengungkap petunjuk ke tiga.
 Yah terkadang kau harus siap dengan kejutan sayang. Kita tak pernah tahu dengan apa yang akan terjadi dengan diri ini, satu detik, satu menit, atau satu jam kemudian. Kau hanya harus siap, dan menerima bahwa apa yang tengah terjadi adalah yang terbaik untukmu. Yakinlah. Saat ayah pergi, itulah yang terbaik untukmu. Mungkin Allah tengah mengajarimu tentang ketabahan yang selama ini terabaikan. Tentu, Ia yang Maha Tahu, telah mengukur dirimu, telah memastikan kau mampu menjalani hidup tanpa ayah.
Mungkin hanya itu yang ingin ayah sampaikan, karena ayah yakin kamu akan mencari tahu sendiri jalan hidupmu. Maafkan ayah sayang, bila ayah tak punya banyak hal untuk dititipkan. Semoga apa yang tersisa mampu kau cerna dan menjadi kebaikan dalam hidupmu.
Wassalamu’alaikum Warahmatullahi Wabarakatuh.
***
“Semoga kau bahagia di sana, Ayah.” Do’anya lepas menembus daun-daun rimbun. Menerobos udara. Bercengkrama bersama aroma bunga kamboja. Air mata tertahan, meluncur perlahan. Senyum mengembang, melepas kepergian laki-laki yang telah menemani 16 tahun hidupnya.
“Terima kasih ayah, telah mengajari aku bagaimana hidup. “
Cianjur, September 2012

Tidak ada komentar

Diberdayakan oleh Blogger.