Essay - Mary Marek Halter
Ilustrasi (Sumber: web) |
“Baru saja aku berpikir mendalam, merenungkan kehebatan pikiran kawan-kawan FLP Cianjur, terutama dirimu. Kita telah memiliki standar tinggi tentang “karya bagus” sementara kita baca karya-karya yang terbit tidak memuaskan. Maka, tinggal selangkah lagi menuju kesuksesan. Gencarkan motto kita, MARI BERKARYA. Show the world, that we can do better than else!”
“Hohoho… siph, keren! Mari…”
Aku tertegun karena kata-kataku sendiri. Tak dapat kusangkal, aku belum melahirkan satu buku pun. Ini ancaman! Ah, aku tak mau melanjutkan kepedihanku. Jadi, palingkan mukaku sekarang ke meja kerja. Aku belum menjadi Penulis, tetapi aku Sipenikmat bacaan, pikirku.
Buku di hadapanku kini, Stones Into School (Greg Mortenson), Samita (Tasaro) dan Mary (Marek Halter). Aku meminjam semuanya dari Rumah Baca Buku Kita malam kemarin. Seperti biasa, Najm pemilik perpustakaan mempersilakan aku melahap semuanya dengan penuh harap, aku dapat berbagi hasil bacaanku.
“Hari ini, aku selesai membaca, Mary. Lebih tepatnya, terpaksa menyelesaikannya. Seperti seorang rakus yang melahap makanan di mejanya tanpa mengindahkan aturan.” Kali ini aku yang mengirim sms.
“Naha terpaksa?” tanya Najm.
“Hem, aku sedang rakus, mencari yang kubutuhkan meski belum tahu persisnya apa. Aku tidak benar-benar ingin tahu setiap detail isinya. Aku hanya penasaran bagaimana “syetan” yang menghidupkan makhluk-makhluk dalam kertas itu menuliskannya. Mary. Buku yang sangat hidup dan memerangi keyakinan.”
Aku yakin Najm melongo. Terutama dengan istiah “syetan” yang kupakai. Siapapun boleh tidak suka dan silakan ganti istilah yang sepadan_yang lebih baik. Sementara aku akan melanjutkan bacaan di buku ke dua, karya penulis Indonesia. Samita. Tahun 2010, aku pernah menemui sang penulis di Saungnya, di punggung Gunung Geulis, Jatinangor. Dan aku mengaguminya.
“Nafas Kristiani kah?” Najm mengusikku. Akhirnya aku urungkan niat untuk membaca dan lebih memilih sahabat untuk kulayani.
“Buku Mary dilahirkan dengat sangat hidup. Dan karya-karya seperti inilah yang berpotensi menjadi penggerak.”
“Wah, wah, aku salah beli kah? Maksud penggerak di sini bagaimana?”
“Ini pembual yang menciptakan Maria melalui diri Mary dan bayinya yang tak berbapak, melainkan Tuhan mereka, Yahweh. Intinya, buku ini menekankan, wanita boleh tidak menikah seumur hidupnya. Ajaran ini diyakini tokoh utama, Mary, sebagai teladan dalam seluruh isi buku.”
“Aku pikir tidak salah beli. Sudah ada yang mengatur, agar kita mengetahui isinya. Aku sangat berterima kasih Teteh sudah meminjamkan.”
Tak ada lagi sms masuk. Aku tahu sekarang waktunya masuk kelas. Dan aku bersemangat mengetik Catatan Harian sambil mengawasi anak-anak yang sedang UAS.
***
“Layaknya sebuah kisah yang mengubah nasib dunia, buku ini mengandung kemegahan sejarah yang ditulis dengan intensitas mengagumkan sampai masuk ke dalam alam pikiran karakter-karakternya. Sebuah epik yang tak boleh dilewatkan.” Inilah testimony Andrea Hirata. Dan buku ini Best seller Perancis: 100.000 eksemplar dalam 2 bulan. Siapa yang tidak tergiur utuk membeli? (Najm) dan membacanya (Aku). Selain Andrea Hirata, testimony mengagumkan dari orang-orang hebat lainnya pun ada.
Terbukti. Aku hanyut dalam bacaan, sejak paragraph pertama pada Prolog. Mary, Joachim, Barabas dan Abdias sangat membekas dalam ingatan. Juga keseluruhan cerita yang amat hidup, aku benar-benar suka sampai terlena.
Berharap kawan-kawan dapat membacanya pula. Meskipun, bukan roman Islami. Ambil yang baik, buang yang buruk. Semoga bermanfaat.
Cianjur, 6 Desember 2012
Leave a Comment