FLP Goes To Batlem
Cianjur, 25 Agustus 2012,
Aku akan melewati sebuah momen penting dalam hidupku.
Momen yang telah ku tunggu-tunggu selama seminggu.
Berbagai pertanyaan muncul di benakku, subur seperti jamur di musim hujan.
Hmm, seperti apa ya kisahku akan di ukir? Menarik atau membosankan?
Batlem, adalah tempat yang aku tuju. Di tempat itulah aku akan mengikuti Pelantikan Anggota Baru FLP (Forum LIngkar Pena) Cianjur, atau bahasa kerennya “ngambil sumpah setia”. Memang sih sebelumnya aku sudah pernah pergi ke Batlem, tapi itu dulu. Duluuuuu. . . . banget, waktu jaman-jamannya baru mengenal gunung. Hehehe maklumlah, aku kan anak Popeye si Pelaut, jadi lebih kenal pantai daripada gunung. Ayahku Pelaut sih. Oke, back to the story. Menurut rencana, semua peserta berkumpul di lapangan parkir Hypermart pkl.07.00 WIB. Ku coba untuk tidak kesiangan. Tapi kenyataan berbicara lain, tadinya sudah ku jadwalkan pkl.06.30 aku sudah berada di depan Hypermart, eh ternyata jam segitu aku masih sibuk berkutat dengan pekerjaan rumah alias beberes rumah.
Masih ku ingat betul kata bu ketua FLP, begini katanya “kalau ada yang datang kesiangan, wayahna ditinggalkan dan nyusul sendirian ke Batlem.” Haduh, tuing . . . tuing . . . ke Batlem sendirian??? Pakai apa ke sananya juga? Buru-buru ku menyiapkan segala sesuatunya untuk ke Batlem, tapi tiba-tiba handphone Nokiaku berdering. Siapa ya yang menelepon? lagi buru-buru gini! Huh mengganggu banget, pikirku sambil marah-marah gak karuan. Secepat kucing berlari, ku ambil HP yang terletak di atas kasur. Setelah ku lihat di layar HPku, owh ternyata Au, muridku yang menelepon. Gak jadi deh marahnya. “Ada apa U ?” tanyaku padanya setelah ku angkat teleponku. “Ibu, kita sudah di depan Hypermart. Jam berapa ibu mau ke sini? Ibu ih yang lainnya pada bawa buku tulis dan bekal. Au mah gak bawa apa-apa. Kenapa ibu gak bilang ke Au sebelumnya?” waduh panjang bener ngomongnya, kaya kereta api. Ku jawab saja, “Lho, memangnya gak dikasih tahu sama ketua kelompoknya?” lanjutnya lagi, “Gak ih, ibu! Akh Au mau pulang saja ah, da gak bawa apa-apa.” Ku katakan lagi padanya “Kan bisa pinjam buku sama yang lain, daripada pulang. Eh U, udah dulu ya, ibu mau ke depan sekarang.” Segera ku tutup teleponnya, dan bergegas ke Hypermart. Walaupun jarak rumahku dengan Hypermart dekat banget, tapi tetap aja kalau nyampe di lokasi berkumpul kesiangan, ya akan ditinggalin.
Begitu nyampe di lapangan parkir, semua telah berkumpul. Emm, kayanya kalau disebutkan satu persatu terlalu banyak dan panjang kali ya, jadi ya yang merasa hadir ke Batlem saat itu ngacung deh. Kami saling bertegur sapa. Saking banyaknya bahan pembicaraan yang kami obrolkan, sampai-sampai aku lupa apa saja yang sudah aku bicarakan saat itu dengan teman-teman. Rombongan laki-laki hampir semuanya bawa kuda perangnya alias motor-motor terbaik mereka. Rombongan “akper” (akhwat perkasa) numpang pakai angkot. Menurutku sih lebih rame pakai angkot, soalnya kita sebagai kaum halus tapi bukan “makhluk halus” bisa saling berbagi cerita seputar cewek. Pemberangkatan ke Batlem terbagi ke dalam 2 kelompok. Pertama, kelompok cewek yang pakai angkot, kecuali Teh Runi dan Bu Defa, juga Neng Dini, mereka bawa motor. Kedua, kelompok cowok yang pakai motor, kecuali Kang Ridwan dan Kang Sofi. Mereka ikut dengan rombongan cewek di angkot, deuh. . .mau jadi yang terganteng ya kang?
Perjalanan dimulai, kami yang pakai angkot lebih dulu meluncur di jalanan, yang pakai motor masih nongkrong di Hypermart. Katanya sih nyusul berangkatnya, soalnya lagi nungguin yang lain. Memasuki daerah cugenang, perjalanan sedikit tidak menyenangkan. Jalannya butut, gak rata, banyak batu-batu besar dan kecil berserakan di jalan, ditambah jalannya berdebu banget. Jadi, untuk sesaat kami “berdugem ria” di dalam angkot. Ku pikir gak apa-apalah menderita dulu, ntar bisa senang-senang disana. Mendekati lokasi yang dituju, kami disuguhkan pemandangan yang luar biasa menyejukkan mata. Hamparan kebun teh PT.PN Nusantara tak pernah berhenti membuatku kagum. Warna hijau daun teh yang segar, semilir angin, juga beberapa petani yang sedang memetik pucuk daun teh. Tempat ini masih sama seperti yang dulu, sejuk dan asri. Gunung Gede yang pernah ku daki, tampak begitu gagahnya berdiri kokoh di belakang perkebunan teh. Semakin menambah harmonisasi area perkebunan teh ini.
Angkot yang kami tumpangi tepat berhenti di depan kantor PT.PN Nusantara. Karena hanya sampai disini angkot bisa lewat, untuk selanjutnya kami harus jalan kaki kalau mau ke Batlem.
“ Yo turun turun, bongkar muatan. Kita sudah sampai.” begitulah ucapan teman-teman begitu turun dari angkot. Ku lihat Teh Neng dan Teh Nisa sedang bernegosiasi ala film “Negosiator” dengan mang sopir angkot untuk menentukan jam berapa kami akan dijemput pulang.
“Mang, nanti jam 2 siang jemput lagi ke sini ya….” kata teh Nisa. Negosiasi berjalan mulus, mang sopir bersedia nomor HPnya diminta oleh Teh Nisa. Hm, Teh Nisa pake jurus jitu apa ya ke mang sopir itu? Salut deh!
Sambil menunggu rombongan yang pake motor datang, kami beristirahat sejenak di halaman berumput dekat parkiran kantor PT.PN Nusantara. Ada yang sarapan, ada yang ngemil, ngobrol, berfoto, dan meracau gak karuan. Nah, Kang Ridwan salah satu contohnya. Entah kerasukan pujangga siapa, ketika melihat kucing di depan matanya Kang Ridwan langsung membuat syair bertemakan Zombie Kucing. Kayanya terlalu kebanyakan nonton film zombie tuh. Tapi teman-teman yang lain pun ikut nimbrung membuat syair berantai dari setiap perkataan Kang Ridwan. Yah, mungkin seperti inilah kalau para sastrawan sedang berkumpul. Apapun yang dilihat bisa dijadikan ide cerita.
Oke, tidak lama setelah kami bercuap-cuap tentang zombie, datanglah rombongan satria berkuda. Kang Agus Firman (maunya sih dipanggil Kang Afgan alias Agus Firman Ganteng), Kang Hade, Kang Aris dan soulmatenya Kang Ucok, Au dan Deden, Teh Runi dan Teh Defa, juga Neng Dini, masing-masing memarkirkan motornya begitu sampai. Kami pun berkumpul, tertawa, dan saling bertegur sapa. Gak kalah pentingnya, kami sempat melakukan sesi narsis bersama. Memasang gaya terbaik kami di depan kamera, dan tebak...siapakah Raja&Ratu Narsis Terbaik Se-FLP Cianjur? Yap, siapa lagi kalau bukan Kang Afgan dan Teh Nisa. Hehehe hampura nya kang, teh.
Setelah mengadakan rapat tertutup khusus untuk panitia, kemudian Teh Defa mengumpulkan kami. Ia membagi kami ke dalam 4 kelompok, dicampur antara cewek dan cowok. Aku berada di kelompok 4, tapi kami berjumlah 3 orang. Deden terpilih sebagai ketua kelompok 4. Teh Defa memberikan pengarahan kepada kami seputar kegiatan ini. Akan ada 3 pos yang harus kami tuju, juga menugaskan kepada kami untuk membuat yel-yel dan kalimat yang bisa diingat oleh teman sekelompok. Terakhir ia berpesan kepada kami, untuk mencapai ke 3 pos itu kami harus mengikuti petunjuk yang ada di jalan, yaitu berupa pita biru untuk diikuti dan pita kuning untuk dihindari.
Semua kelompok bersiap-siap, termasuk kelompokku. Tapi kami belum mempunyai yel-yel menarik untuk ditampilkan. Aku, Deden dan Teh Yuni mencari-cari lagu yang enak di dengar dan mudah dihapalkan untuk kami jadikan yel-yel. Akhirnya terciptalah yel-yel kelompok kami dengan judul Pena. Irama lagu kami ambil dari lagu anak-anak “Cicak-cicak di dinding.” Satu persatu kelompok maju menuju pos pembekalan yang di tempati oleh Teh Defa dan Teh Nisa. Kemudian giliran kelompok kami menampilkan yel-yel. Ternyata Teh Defa meminta kami untuk menyanyikannya dengan gerakan. Ala kadarnya kami menggoyangkan tangan kami seperti seseorang yang sedang menulis. Beres bersenandung di pos ini, kami diberangkatkan Teh Defa untuk selanjutnya mencari pos 1.
Sepanjang perjalanan, tak henti-hentinya aku mewanti-wanti Deden dan Teh Yuni agar menemukan pita biru, tapi alhasil bukan pita biru yang kami dapati melainkan jalan yang salah. Kami nyasar hampir setengah jam, melewati jalan yang berdebu, bertemu dengan rombongan wisatawan lokal, dan penduduk setempat. Lalu kami memutuskan untuk balik lagi ke tempat awal kami diberangkatkan Teh Defa. Ku ambil HPku, maksudnya sih untuk menanyakan arah yang sebenarnya ke panitia, eh tapi ternyata sinyalnya lemah di atas perkebunan teh ini. Tapi daripada tidak sama sekali, gak ada salahnya dicoba. Bukan hanya ke panitia saja ku tanyakan arah sebenarnya, tapi ke teman-teman dari kelompok lain. Lima detik berlalu, sepuluh detik berlalu, bahkan semenit sudah berlalu, ah tidak ada seorangpun yang membalas.
Kami sampai di tempat sebelumnya, di depan mushola kami berdiri, mencari-cari petunjuk. Deden menghampiriku dan memberikan HPnya, “Siapa den?”tanyaku. Terdengar suara bu ketua FLP di HP Deden, ia memberikan sedikit petunjuk arah mana yang harus kami lewati. Kami melanjutkan perjalanan lagi. Satu pita biru kami temukan bersama pita kuning. Kami menyusuri jalan yang terdapat pita biru. Tapi sekali lagi kami nyasar. Ini yang kedua kalinya kami nyasar. Kami hampir mendekati rumah penduduk. Ku lihat Teh Yuni sudah lelah, jalannya lambat. Ya waktu kami habis di jalan karena nyasar.
“Den, kasihan Teh Yuni, kayanya udah cape banget. Kalau kita sih gak apa-apa, soalnya kita kan udah terbiasa naik gunung. Balik lagi ke tempat yang tadi yuk, den?!” saranku pada Deden. Kami balik lagi ke tempat pertama kali pita biru ditemukan. Aku berinisiatif untuk menyusuri sendiri kemana sebenarnya arah pita biru ini, jika ku temukan jalan yang benar maka aku akan mengatakannya pada Deden dan Teh Yuni. Ku minta mereka untuk menunggu sebentar. Syukurlah jalan yang ku susuri ini adalah jalan yang benar, segera ku panggil Deden dan Teh Yuni untuk mengikuti jalan ini. Dari jalan ini sampai mencapai pos pertama, kami hanya menemukan 4 pita biru dan 1 pita kuning. Hanya sedikit petunjuk yang kami temukan. Karena keterbatasan petunjuk yang kami punya menuju Batlem, maka aku memutuskan untuk bertanya pada salah satu penduduk setempat yang saat itu berada di belakang kami memikul bongkahan kayu besar di pundaknya.
“Pak, punten bade tumaros. Upami bade ke Batlem, jalanna ka palih mana nya, pak?” tanyaku. (Pak, maaf mau nanya. Kalau mau ke Batlem, jalannya kemana yah, pak?).
“Oh…teras we neng nganggo jalan ieu, kin teh aya pasir teras bak penampungan, tah di pengkeran bak teh aya jalan, nganggo jalan nu eta.”jelasnya sambil menunjukkan arah jalan yang harus kami lewati. (Oh,terus aja neng lewat jalan ini, nanti tuh ada pasir terus ada bak penampungan, nah di belakang bak penampungan ada jalan, lewat jalan itu).
Perjalanan berjalan mulus. Kami bertemu dengan kelompok 3. Mereka sedang menunggu giliran dipanggil oleh panitia yang berada di pos 1. Akhirnya tibalah kelompok kami, di pos 1 ini kami ditanyai tentang apa saja yang sudah kami temui dalam perjalanan tadi dan diminta keseriusan kami bergabung di FLP. Setelah di pos 1 kami menuju pos 2, di pos ini kami di tanya seputar sejarah FLP dan pengetahuan umum. Tapi yang menjadikannya menarik adalah Teh Nenden dan Teh Tati menyuguhkan kue kepada kami yang memang sedang lapar. Sambil makan sambil menjawab pertanyaan. Tau aja kami lapar. But, anyway thanks for the cookies.
Di pos terakhir; pos 3, Kang Hade sudah menunggu kami, dan itulah tempat yang kami tuju, Batlem. Tempat dimana terdapat berbagai keindahan alam, terutama air terjunnya. Tepat di atas batu besar tempat kami berpijak itulah Batlem. Kata orang-orang sih Batlem itu adalah Batu Lempar. Sejarah persisnya sampai disebut Batlem sampai sekarang masih simpang siur. Tapi, bagi sebagian orang yang sengaja datang ke Batlem lebih mengutamakan keindahan tempatnya ketimbang mengetahui seluk beluk tentang Batlem.
Balik ke cerita sesungguhnya. Tiap kelompok diminta untuk berlomba-lomba menyanyikan yel-yel secara bersamaan. Gak mudah memang, suara kami aja udah sumbang gini apalagi jika harus ditambah mendengarkan suara kelompok lain. Wah, rame deh, bahkan mengalahkan kicauan burung di pagi hari.
Berikutnya kami semua duduk di atas batu. Kang Hade meminta kami untuk menyiapkan selembar kertas dan alat tulis. Sambil diiringi musik dari netbook Kang Hade kami menulis apa yang kami rasakan pada saat itu. Berbaur dengan alam, merasakan sejuknya semilir angin, gemericik air yang mengalir dari sela-sela bebatuan, sayup-sayup suara serangga, hijaunya dedaunan, dan beberapa kupu-kupu yang beterbangan. Itulah Batlem. Hasil tulisan dibacakan oleh Neng Dini dan Cep Au, begitulah Kang Afgan memanggilnya.
Bersama dengan panitia, kami menuju lokasi air terjun. Perjalanan menuju air terjun tidak semulus yang kami kira. Teh Nenden paling sering terpeleset, mungkin karena jalannya licin. Melewati sungai-sungai kecil yang dipenuhi bebatuan, juga tebing rendah yang tidak begitu terjal. Medan yang masih bisa ditempuh oleh siapapun. Ditempat ini pun tak kalah indahnya, air terjun menghiasi latar tebing, bebatuan kecil terhampar di sekitar kolam air terjun, pohon-pohon menjulang tinggi, rembesan-rembesan air yang keluar dari dinding tebing. Segala aktifitas terjadi disini; solat, makan siang, ngobrol, bermain air, dan berfoto bersama. Sebagai rangkaian dari akhir kegiatan ini, diadakan sesi obral obrol dengan Pengurus FLP Jabar, Kang Wildan dan Kang Yadi. Mereka berbagi pengalaman dan juga tips seputar dunia tulis menulis. Masukan dan motifasi dari mereka bermanfaat untuk kami yang masih hijau di dunia kepenulisan. Dengan menulis, kita bisa menciptakan perubahan. Motifasi yang kuat bisa membuat kita bertahan untuk terus berkarya membuat tulisan. Di akhir acara, Kang Afgan mewakili kami secara simbolisasi dilantik menjadi anggota baru FLP Cianjur. Kegiatan ini ditutup dengan memasang aksi terbaik kami di depan kamera foto dengan latar air terjun. Bagaimanakah perjalanan pulangnya?
Kami bersama-sama berjalan kaki sampai di kantor PT.PN Nusantara hingga menjelang maghrib. Yeah, this is the end of my story.
Leave a Comment