Kado Cinta untuk Marni


Ilustrasi (Sumber: web)
Marni membolak-balik buku masakan di hadapannya. Sesekali ia berhenti. Matanya menelisik barisan kata di samping foto Ayam Bakar Bumbu Pedas yang mempesona. Keningnya mengerut. Telunjuknya menepuk lembut bibir tipisnya yang menggulung. Ke dua bibir itu kemudian mengembang, melengkung mengukir senyum.
‘Ah, ini aja.’ Gumannya.

Marni melirik jam dinding yang melekat pada dinding rumah nya. 14.30. ‘Ya, masih ada waktu buat nyiapin semuanya.’ Ia pun mulai mengobrak-abrik lemari esnya. Menarik-dorong laci-laci transparan yang dijejali sayuran dan buah-buahan. Dipungutnya beberapa butir bawang merah dan cabe rawit dari laci terbawah. ‘Duh, tadi apa lagi ya?’ Gumannya mencoba mengingat-ngingat. Namun Marni tak yakin dengan apa yang dia ingat.


 “Bi… Bi Edah…” Panggilnya lembut, sambil terus menutup kembali lemari es itu.

“Ya mba, sebentar.” Jawab seseorang dari teras belakang.

Tak lebih dari satu menit, seorang perempuan paruh baya menghampiri Marni sambil membawa keranjang jemuran.

“Ada apa mba?”

“Coba bibi lihat ini, kira kira yang belum ada, apa aja ya?.” Tanya Marni sambil menunjukkan resep Ayam Bakar Bumbu Pedas yang tertulis pada buku masakan di tangannya.

“Lho, mba teh lupa ya? Bibi kan gak bisa baca.” Jawab bi Edah dengan logat Cianjur selatannya sambil tersenyum.

“Astagfirullah. Bibi maaf ya.” Sesal Marni sambil memegang pundak Bi Edah yang mulai membungkuk.

“Ga apa-apa mba. Namanya juga manusia. Suka lupa.” Bi Edah menunduk, menghindari tatapan Marni.

“Emh, gini deh bi. Bibi bisa anter saya ke pasar sekarang? “ Pinta Marni.

“Mba mau masak ? Emang buat siapa?” Tanya bi Edah penasaran.

“Udah, pokoknya nanti Bibi tunjukin yang mana jahe yang mana lengkuas. Terus pilihin daging ayam yang bagus.“ Bi edah mengangguk setuju.


***


“Tumben kamu masak, nduk?” Sapa seseorang dari arah pintu dapur. Marni yang tengah mengiris tomat segera berbalik dan menghampirinya.

“Ibu. Koq ga bilang-bilang mau mampir? Ibu datang sama siapa?” Sambil memberi salam mata Marni memastikan tak ada siapa-siapa di belakang ibundanya. Yah ruang makan tetap sunyi, tak ada Wati yang biasanya langsung mengacak-acak lemari esnya, mencari es krim atau minuman dingin.

“Kamu itu, ibu tanya malah balik nanya. Adikmu ga ikut.” Jawab Ibu seolah mengerti kebiasaan anak sulungnya. Marni tersenyum, setidaknya ia tidak akan direpotkan oleh adiknya yang hiperaktif itu.

“Ini kamu masak buat siapa?” Tanya Ibu yang sudah berada di depan meja dapur sambil memperbaiki irisan mentimun hasil Marni.

“Jangan bu. Biar marni aja. Udah ibu duduk saja.“ Pinta Marni sambil terus mengambil alih pisau dapur dari tangan ibunya.

“Kenapa? Kamu ini aneh. Bi Edah kamu suruh pulang. Sekarang Ibu ga boleh bantuin.”

“Oh jadi Ibu ketemu Bi Edah? Di mana?” Jawab Marni mencoba mengalihkan pembicaraan sambil menata piring dengan irisan mentimun dan tomat yang telah selesai diiris nya.

“Iya Bi Edah cerita kamu menyuruhnya pulang. Kamu sendiri belum jawab pertanyaan Ibu. Kamu masak buat siapa?”

Marni tersenyum membayangkan laki-laki berkumis tipis yang telah menjadikannya putri di rumah itu.

“Mas Adi, bu.” Jawabnya sambil memainkan ujung rambut dengan telunjuknya.

“Lho? Bukannya Mas mu itu baru berangkat Senin kemarin?” Kening ibu berkerut. Wajahnya menatap wajah Marni dengan sorot curiga.

Awalnya Marni enggan membuka kejutan buat mas Adi pada Ibu. Ia mencoba melemparkan pembicaraan dari satu sudut ke sudut lain, karena di sisi lain ia pun tak mau berbohong pada Ibunya sendiri. Namun Ibu bukanlah orang yang mudah menyerah. Berkali Marni mencoba berbelok, berkali pula ibu meluruskan kembali. Akhirnya Marni terpojok. Saat kepalanya tak lagi menemukan tirai untuk bersembunyi dari sorot mata ibunya,  ia mulai membuka cerita tentang keinginannya terhadap mas Adi.

“Ini  hari ulang tahun pernikahan kami bu.“ Jelas Marni.

Marni pun teringat hal itu saat Mas Adi mengirim MMS lucu berisi ucapan selamat tadi pagi. Marni tak ingin ia melewatkan hari itu hanya dengan kata-kata mesra melalui telepon genggam. Ia ingin berada dalam pelukan kekasihnya. Merasakan belaian lembut tangan laki-laki gagah itu pada rambutnya. Ia pun sebenarnya bukan tak tahu jauhnya Pasir Terong,  tempat Mas Adi mengajar, dari Cianjur. Ia pernah merasakan beratnya medan yang harus dilalui selama perjalanan antar dua tempat itu. Terlebih, mas Adi bersikeras bersepeda motor, lebih leluasa katanya. Ya, Marni memang menyadari semua itu, karenanya selama ini ia mengijinkan suaminya pulang dua minggu sekali. Namun kali ini, hanya untuk kali ini ia meminta pengertian suaminya.

Awalnya ibu mengerti dan yakin bahwa menantunya tak akan berkeberatan. Namun saat Marni bercerita tentang sms balasannya kepada Mas Adi, Ibu menguapkan senyum.

“Kamu itu. Ibu ngerti perasaan kamu. Tapi ga baik berbohong sama suami. Apalagi berpura-pura sakit.”

Marni sempat menunduk menyesal, mencoba meminta maaf. Beruntung Ibu adalah orang yang penuh kasih. Mengerti sifat manjanya. Sifat yang mengikat kuat pada diri Marni. Ibu berkali meminta Marni untuk lebih sedikit dewasa, namun butuh dari sekedar kasih sayang ibu bagi Marni untuk menghapus sifatnya itu. Terlebih mas Adi tak pernah berkeberatan.

“Ya udah, ibu mau pulang sekarang. Takutnya mas mu keburu dateng. Kamu yakin ga ada yang bisa ibu bantu?” Tanya ibu, mencoba meyakinkan.

“Emh, engga. Makasih bu.”  Marni mengembangkan senyum, sebelum akhirnya mengantarkan ibu ke pintu depan.


***


Marni menatap dirinya dalam cermin oval yang melekat pada meja rias. Wajah putihnya masih terlihat segar dan cantik, bebas dari kerutan. ‘I’m young, preety, and rich.’ Ujarnya sambil mengukir senyum terbaiknya. Marni lalu memusatkan pandangan pada bola matanya. Bulat kecil dengan bulu mata lentik tersapu maskara dan alis tipis melengkung, menggoda. Pandangannya beralih pada dua lesung yang terlihat cerah dengan sedikit rona merah muda di bawah cahaya neon spiral 15 watt. Ia kemudian mengambil lipstick merah bata dan mulai menggoreskan pada bibirnya. Ia tersenyum, menikmati keindahan yang terlukis pada cermin itu untuk beberapa saat. ‘Yah aku cantik.’

Marni kemudian berdiri, memastikan gaun terusan ungu muda yang melekat pada tubuhnya selaras dengan kerudung sifon yang ia kenakan. ‘Warnanya memang sama, tapi…’ Ia berputar, menatap cermin dan memperbaiki tatanan kerudungnya yang sedikit miring. Tangannya kemudian sibuk mencari bros bunga kecil untuk ia sematkan pada kerudungnya.

Saat asyik menata, matanya dikagetkan oleh handuk basah yang teronggok di atas ranjang. Segera ia mengambil handuk putih biru itu dan meraba-raba bagian bed cover yang tadi tertindih. ‘Yah basah.’ Marni melirik jam weker pada meja kecil di samping ranjang. 18.50. ‘Duh gimana ini.’Panik, Marni meraih kotak tisu dari atas meja rias. Sayang, kotak tisu tersebut menyenggol vas bunga yang berdiri di sana. Airnya tumpah, bunga-bunga yang sengaja ia beli di pasar tadi siang berserakan. Marni pun hanya bisa menyaksikan saat vas kaca biru transparan itu menggelinding dan ‘Prakk’ pecah menghantam lantai. Pecahan kaca serta genangan air pada keramik coklat muda membuat urat-urat kepala Marni menegang.

Ingin rasanya Marni menangis. Tak tahu bagaimana ia membereskan kekacauan yang ada di hadapannya. Ia sempat menyesal telah meminta bi Edah pulang. Namun ia sadar, tak selamanya ia bisa berpangku tangan pada perempuan lanjut usia itu. Terlebih mas Adi sering mengingatkannya agar memperlakukan bi Edah sebagai anggota keluarga, sebagai teman. ‘Bi Edah ada di sini bukan untuk disuruh-suruh, tapi untuk nemenin kamu sayang. Jadi jangan terlalu membebaninya ya. Ayah yakin Bunda bisa.’

Matanya yang mulai memanas, mulai sejuk kembali. Hanya setetes yang terurai, itupun sempat ia tahan dengan tisu. ‘Aku tak boleh menangis, aku harus kuat.’


***

Marni terduduk lemas dalam dekapan Ibunya. Air mata yang tumpah sejak beberapa jam yang lalu telah melunturkan maskara, blush on, bahkan lipstiknya. Ia tak lagi cantik. Jilbab dan terusan ungu yang hampir satu jam ia tata, kusut sudah. Marni tak lagi ingat dandanannya. Ia telah lupa dengan ‘Ayam Bakar Bumbu Pedas’ yang akan ia hidangkan. Hati dan pikirannya dipenuhi penyesalan.

“Maafin Marni mas. Seharusnya Marni tak memintamu pulang.“

“Sudah nduk. Sudah. Kita ambil hikmahnya saja.“ Ibu membelai rambutnya, mencoba menguatkan. Percuma. Marni terus saja menangis. Mata basahnya nyaris tak berkedip menatap tubuh yang terbaring di hadapannya. Terdiam berbalut perban. Hanya dadanya yang naik turun, mengalun lambat seiring desah nafas berat pada masker oksigen yang berembun.

Laki-laki di hadapannya mungkin belum menyadari bahwa ia telah kehilangan sebelah kakinya, namun Marni sudah. Laki-laki di hadapannya mungkin belum mampu membayangkan bentuk wajahnya setelah pipinya tersayat dan harus menerima 12 jahitan, namun Marni sudah. Yang tak mampu Marni bayangkan justru bagaimana perasaan suaminya nanti, saat ia sadar. ‘Maafin Marni, Mas Adi. Maaf’


***

“Sayang bangun. Bunda Ayah, ayo bangun.” Setengah sadar Marni mendengar suara itu.  Kemudian ia merasakan seseorang membelai kepalanya yang masih terbungkus jilbab. Saat matanya terbuka, samar-samar ia melihat wajah berkumis tipis itu tersenyum. Perban putih masih membalut kening wajah tampan itu. Kasa putih merekat bersama plester coklat pada pipi kirinya. Marni segera memeluk sambil melepas tangisnya di sana.

“Aw… aw… aw… pelan-pelan sayang. Kangen banget ya?” Marni melonggarkan pelukannya, namun memperderas laju air matanya.

“Udah atuh jangan nangis terus. Ayah ga apa-apa koq.” Marni memegang tangan suaminya. Menciuminya sambil mencoba menahan kucuran air mata itu.

Tak ada penyesalan dalam setiap kalimat yang Marni dengar dari mulut suaminya. Ia tetap saja tegar seperti biasanya.

“Kaki ini bukan milik Ayah sayang. Mungkin Ayah telah lalai dalam menjaganya, hingga Allah mengambilnya kembali. Wajah ini pun hanya titipannya. Allah tentu bermaksud baik dengan membuatnya terluka. Mengingatkan kita bahwa sejatinya mencintai seseorang itu jangan karena penampilan luarnya. Bunda tetep cinta ayah kan meski ayah begini?” Marni tersenyum, lalu mengangguk.

Sesal dan kesedihan perlahan terbang melalui sela-sela jendela. Ruang putih itu kini dipenuhi cinta dan senyuman. Seiring adzan subuh, dalam pelukan suami tercintanya, , Marni melepas air mata syukur sambil menatap cincin emas yang baru saja tersemat di jarinya. ‘Ya Allah, terima kasih telah mempertemukan hamba dengan ia yang selalu mengingatkan akan kebesaran Mu.’

Ciparaja, 18 September 2012.

Tidak ada komentar

Diberdayakan oleh Blogger.