Semangat Rara
Entah berapa gumpalan kertas yang sudah dilemparnya ke lantai. Saban hari ia menghabiskan waktu dengan kertas dan pena. Raut wajahnya berubah-ubah. Sesekali jidatnya mengkerut. Bibirnya berguman tak karuan, entah apa yang ia ucap. Ia menghempas tubuh kecilnya ke sandaran kursi, meregangkan otot-otot yang kaku. Tak terlihat lagi semangat dalam dirinya. Jika seperti ini terus, bagaimana bisa mengikuti jejak langkah Hilman Hariwijaya yang melahirkan tokoh kocak, Lupus, atau Helvy Tiana Rosa yang karyanya tidak diragukan lagi, juga Andrea Hirata dengan inspirasi-insipirasinya yang brilian. Sedangkan aku, hanya setia menyemangati. Semangat Rara!.
Aku berharap lebih darinya. Aku ingin dia tetap kuat. Aku tak ingin lemah karena bersamanya. Untuk itu aku harus selalu ada untuknya. Ada bersama gadis yang mengejar mimpi menjadi seorang penulis terkenal. Gadis yang masih memiliki peluang banyak di hidupnya.
***
Hari ini Rara merasa tak puas dengan hasil print outnya. Beberapa kali ia membolak-balik setiap lembaran kertas. Membaca ulang setiap kata yang tertulis, seakan belum menemukan kesempurnaan pada tulisannya. Padahal hampir semalaman jarinya berkutat di papan ketik, menyalin tulisan tangan yang ia kerjakan sebelumnya. Tapi apa pedulinya, waktu sudah memburu. Teman-teman sudah menantinya di hamparan hijau. Basecamp tempat biasa ia berkumpul mengumpulkan ide-ide cerita bersama teman dalam forum.
Sebenarnya masih kurang tepat disebut basecamp. Hamparan hijau itu hanyalah halaman masjid umum di kota Cianjur. Tempat itu sengaja dimanfaatkan selama forum belum memiliki basecamp sendiri.
“Saatnya bedah karya”. Berbagai ekspresi mulai tergambar dari setiap anggota. Yana senyam senyum karena tak berhasil membawa satupun karya. Rahma dengan raut wajah bangga menggenggam lembaran putih miliknya, sedang Rara dengan wajah muram, seolah lampu yang meredup di ujung jalan. Dan beragam gambaran raut wajah yang tertagih.
Semua karya terkumpul. Satu persatu karya mulai dibacakan. Dimulai dari karya Rahma yang mendapat respond dan kritikan yang cukup bagus. Gaya bahasa dan penokohan yang menarik, serta konflik cerita yang berwarna, menjadikan nilai plus tersendiri baginya. Gita dengan karya gemilangnya cukup memuaskan, meski beberapa komentar kurang baik menyambar. Hal itu tak menjadi masalah besar buatnya yang masih terbilang baru bergabung di forum. Setelah beberapa karya dibedah, kini giliran karya Rara yang dibacakan. Semuanya menyimak cukup antusias. Hingga ending cerita, Rara harap-harap cemas menanti setiap komentar yang akan menjudge hasil jerih payahnya. Beberapa mulai mengeluarkan pendapat. Sebagian berkomentar pedas, sedikit membuat telinga di balik jilbab Rara melengking. Sebagian lagi menyukai karyanya, meski diimbuhi kritik yang menandakan karyanya belum sempurna. Bathinnya merengus kecewa. Karyanya masih jauh dari sempurna. Dalam benak Rara tertimbun komentar-komentar yang tadi diarahkan padanya. Ia tersungkur,merasa idenya masih sangat klise. Otaknya terlalu dangkal. Kreativitas pun belum terasah dengan baik.
Aku ikut berkutat cemas. Aku mulai merasa kecil. Pesimis memerangiku. Merasa kalah dalam berkompetisi. ‘Tapi ini bukan kompetisi Ra’, bisikku meyakinkan. Semangat Rara!.
“Semua karya teman-teman bagus dan kreatif” ungkap Dede berharap si pemilik karya yang mendapat komentar kurang baik tak kecewa.
“Tetap semangat atwuh! Kita semua disini belajar dan saling berbagi ilmu, jadi jangan pernah merasa minder” imbuh Firman membuat suasana kian menghangat.
“Iya sesama junior kan tidak boleh mendahului. Kecuali buat Kang Firman, sebagai senior bolehlah mendahului.” celoteh Yana dengan tingkah konyolnya. Semua tertawa geli. Suasana semakin berwarna dengan keceriaan. Akupun bersamanya dengan keceriaan.
Bathin Rara yang tadi tegang kian mencair. Kebersamaan ini membuatnya bangkit. Tak harus menyerah hanya karena komentar pedas. Tak berhenti karena banyak penolakan-penolakan dari penerbit. Dan tak akan membuat dirinya kehabisan ide karena gagal dalam setiap lomba. Akupun menyemangati.
***
Kini kujelaskan, aku ikut bangkit bersamanya. Semakin kuat menyemangatinya menggapai mimpi. Akulah yang mendorong Rara saat ia kecewa menerima komentar buruk atas karyanya. Bahkan akulah yang membuatnya tetap bangkit saat penerbit menolak jerih payahnya, agar akupun ikut bangkit dan tumbuh kuat bersamanya. Tentunya semua itu kulakukan karena aku tak ingin lemah bersamanya, aku harus tetap kuat. Karena jika mengandalkan dirinya yang lemah aku akan mati. Dan akulah TEKAD, hal abstrak yang harus dimiliki Rara untuk menggapai mimpi-mimpinya. Dan tentunya harus dimiliki semua orang dalam pencapaian hidup.
Cianjur, September 2012
Leave a Comment