Supermad


Ini kisah tentang seorang superhero. Kamu tau superhero kan? Itu tuh, yang ada di mall-mall, yang biasanya menyediakan berbagai macam aneka makanan, minuman, kelontong, sampai barang-barang elektronik juga ada. Dari kaos oblong sepotong yang berharga dua puluh lima ribu rupiah yang kalo beli dipasar loak bisa dapat lima stel ataupun minyak sawit sekilo sepuluh ribu yang kalo beli minyak curah di pasar induk bisa dapat 3 kilo.



“Ah kamu mah ngaco! Itu mah bukan superhero tapi supermarket!” uuppsss, ternyata Editornya membentak marah padaku sodara-sodara.

Ah, aku mah cuma mesem-mesem aja. Bukan berarti berwajah asem ya pembaca yang terhormat, tetapi karena memang aku lagi asyik ngunyah permen Nano-Nano manis asem asin.

Jadi gini sodara-sodara sebangsa setanah air, aku akan menceritakan kepada kalian sebuah epik saga. Kisah dramatis seorang kesatria yang berwajah tampan seperti nampan bakinya makanan.

Alkisah, di sebuah negeri tak di kenal dalam catatan sejarah manusia terdapatlah sebuah nama, Kahayangaing. Negeri yang aman tenteram dan damai, gemah ripah loh jinawi, subur makmur tur kamashur. Dipimpin oleh seorang Presiden bernama Seswanto Loegwe dan Ibu Negara Endeh Galauwae dan memiliki putri semata wayang nan cantik jelita penuh pesona anggun bersahaja, namanya  Ngacamelulu yang biasa disapa putri Lulu.

Namun sayang, ketenteraman dan keamanan Kahayangaing mendadak sirna ketika seorang Paranormal bernama Ki Elmu Nasiasia mengguna-gunai sang presiden dan ibu Negara atas perintah oposisi pemerintahan yang dipimpin Poek Jabatana. Kegelapan seketika menyelimuti langit negeri, kejahatan merajarela bagaikan singa yang memburu mangsa.

Rakyat-rakyat diperas seperti kain cucian yang dijemur. Tenaganya diperah sampai habis sehabis-habisnya layaknya sapi buat susu kemasan. Tubuh kering kerontang bagaikan kentongan di pos ronda yang bergetok tidak karuan. Kelaparan di mana-mana seperti para penggemar yang mogok makan demi melihat Justin Bieber si cowok hebring. Dan lagi-lagi, sang editor kembali geleng-geleng kepala, “Ni mau nulis cerita atau mau demo sih!” rutuknya padaku.
Di saat hiruk pikuk itulah, muncul seorang pahlawan gagah berani, perawakannya kekar. Tubuhnya tinggi besar. Sorot matanya tajam seperti elang. Rambut tergerai diterpa angin. Kepalan tangannya sempurna berotot besar. Dan suaranya menggelegar mengalahkan gemuruh Guntur terdahsyat sekalipun.

Dengan semangat tinggi, seorang diri dia menyambangi istana kepresidenan untuk menuntut balas atas kematian dan penderitaan yang dialami oleh saudara-saudaranya sesama kawula. Dia hancurkan segalanya yang ada. Mengamuk sedemikian rupa. Merubuhkan istana. Api berkobar di mana-mana. Benteng sudah remuk redam tinggal puing-puing saja. Menara telah runtuh seruntuh runtuhnya. Semua dibombardir oleh kekuatan super Sang Pahlawan.

Lantas dia berhasil membunuh Ki Elmu Nasiasia dan Poek Jabatana. Namun saat akan membunuh sang Presiden Seswanto Loegwe beserta istrinya Endeh Galauwae, sontak gerakannya terhenti karena melihat cahaya yang luar biasa. Cahaya seorang gadis cantik jelita, Putri Lulu..

Dia terpana, terpesona, terbius dan terlena. Matanya berbinar-binar takjub.. hingga…

“Somad! Bangun lu! Udah siang gini masih nguler di kamar! Bangun sono telat sholat subuh!” sebuah teriakan cempreng lengkap dengan guyuran air ember menghajar sadis Sang Pahlawan.

Spontan dia gelagapan.. “ Bujubuset! Ya emak! Ngilang deh mimpi aye!” rutuknya kesal sekesal-kesalnya. Bibirnya misuh-misuh gak karuan.

Ternyata itu cuma mimpi sodara-sodara. Dan sekarang si empunya mimpi sudah lengkap kembali sambungan nyawanya di dunia kata. Eh sorry, dunia nyata.

“Eh, lu kebangetan jadi anak ye! Orang dibangunin bukannya bilang alhamdulillah, malah protes nggak ada juntrungnye! Dasar lu yee!” umpat Emak Romlah pada anaknya semata wayang ini. Idung si Somad dipencet sekenanya. Kemudian melemparkan ember kosong melompong itu kearah Somad dan sukses mendarat tepat di kepala dengan empuknya. Si Somad gelagapan.

 “Udeh jam lima lebih tiga puluh menit lebih tiga puluh detik, Somad!” teriak Emak Romlah nyaring bagaikan Candil Serieus!

“Ya amplop! Asereje! Mak, bukannya bilang dari tadi. Aye jadi telat sholat subuh dong!” jerit Somad super panik lantas melesat ke kamar mandi selesat-lesatnya.

Emak Romlah cuma melongo melihat kelakuan anaknya yang ajaib itu.
***

Kamu pasti berpikir kalau kejadian itu di pinggiran Jakarta ya?
“Ye, enak aja. Mana ada Jakarta di pinggiran. Yang ada dipinggiran mah kan cuma pedagang kaki lima, tukang sol sepatu, tukang cendol, tukang martabak, tukang nasi goreng! parah ni penulis..!” umpat sang editor.

Aku melotot sadis, “Maunye ye, maen nyeletuk aje! Pinggiran itu bukan sisi jalan! Tapi daerah yang memang nggak ada di tengah kotanya.”

“Udah, ah! Aku nggak mau berantem! Sana, terusin nulis ceritanya!” potong si editor.

Iya deh, iya. Aku terusin saja deh sambil melemparkan senyum, untukmu senyum, untukmu harum dan untukmu ranum. (lho, ape hubungannye?)
***

Ini kisah, masih ada di Bandung loh. Di sebuah kampung yang penduduknya campur aduk dari berbagai etnis dan masih mempertahankan kebudayaan daerah asalnya masing-masing terus dikombinasikan kayak capcay yang diracik oleh bumbu-bumbu mantap sehingga menunjukkan sebuah keharmonisan yang dahsyat luarbiasa sekali. Namun sayangnya, jika sodara-sodara mau nanya sama si penulis soal alamat si Somad ini, oh tidak bisa.. maaf sekali. si Somad nggak bisa ngirimin alamatnya. Kalo pemirsa masih ngotot pengen tau alamatnya, jangan kaget kalau nanti bakalan dikasih alamat palsu!

Selesai sholat Subuh yang kesiangan itu, si Somad langsung ngeluyur keluar. Biasa, ngantor. Kantornya sih nggak gede-gede amat. Biasalah untuk ukuran seorang pengusaha pemula. Gaji lumayan buat ngehidupin dirinya plus ngebantu-bantu Emaknya yang sudah menjanda sejak si Somad masih dalam buaian. Ada lahan parkir yang cukup luas juga. Pohon rindang di depan kantor membuat teduh siapa saja yang berkunjung. Yang bikin bangga, si Somad inilah owner kantornya itu. Keren sekali karena si Somad Cuma lulusan EsDe. Tapi ternyata nggak kalah daripada temen-temennya yang lulus EsSatu. Bahkan semakin bangga karena ketika temen-temennya itu masih kerja dikantor orang, sementara si Somad udah punya kantor sendiri. Dan pemirsa di manapun anda berada, si Somad berbaik hati mempromosikan kantornya ini kepada sodara-sodara semua. Inilah kantornya..

Traaadaaaaa…….
KEDAI MIE AYAM BASO SOMAD!

Dan saat ini, si Somad sedang kepikiran banget dengan mimpinya yang malem itu. Sejurus kemudian dia sudah ada di depan cermin yang nempel di tembok deket kantornya itu.

“Hhm, min, aye ganteng ya?” tanyanya pada cermin.

Si cermin menjawab, tapi dalam hati.. “Egepe, orang jelek gitu!”
Karena si Somad tidak mendengar rutukan hati tersembunyi si cermin, maka dengan mantap dia menjawab, “Hehehe, ya aye ganteng!”

Oh benarkah klaim asuransi ini?
Eh, maaf.. klaim kegantengan si Somad itu benar?
Ok, mari kita tanyakan kepada setiap pengunjung kedai Mie Ayam milik si Somad ini. Khususnya tamu-tamu perempuannya. Bagaimanakah hasilnya?

Ternyata sodara-sodara, 9 dari 10 orang perempuan yang diajukan pertanyaan, “Apakah Somad termasuk makhluk ganteng?” menjawab, “TIDAK!”

“Ah, biarin.. itu kan 9 dari 10 orang ye. Masih ada satu orang yang bilang aku ganteng, kok, itu bukti otentik bahwa aye ganteng.” bela si Somad cuek bebek.

Eh, tunggu dulu Mad! Aku belum selesai presentasinya! Ternyata, satu perempuan yang tersisa ini menyatakan.. “ SANGAT TIDAK GANTENG SAMA SEKALI!”

Aduh  kasihan, wajah si Somad langsung cemberut merengkut keriput kayak roti yang kelar di remes-remes saking gemesnya.

Tapi beneran lho, si Somad masih kebayang wajah putri cantik yang ada dalam mimpinya itu, si Putri Lulu. Bener-bener cantiknya nggak dibuat-buat karena dia bukan artis yang wajahnya di makeover sedemikian rupa pakai bedak yang tebalnya tak kira-kira. Aduh, sayangnya itu cuma mimpi para hadirin. Bunga tidur serangkai seharum aroma bunga bangkai!

“Nak, minta uang, nak.” tiba-tiba suara lirih mengagetkan lamunan si Somad.

Ternyata ada seorang nenek pengemis yang sowan ke kedai mie ayamnya. Somad terpekur sesaat, mikir. Kayaknya ini nenek ajaib deh, datang saat aye butuh bantuan. Aye kasih duit ah, kali aja dihadiahin benda istimewa untuk ngabulin harapan aye, pikir si Somad cerdik.

“Nih, Nek, Somad kasih seratus ribu!” sahut si Somad mantap.

“Hah, seratus ribu rupiah, nak?” jawab si nenek gak percaya matanya berbinar sebinar binarnya.

“Ya iyalah, Nek, rupiah. Masa dollar! Kalo dollar mah udah bisa buat beli rumah, dong.”

“Alhamdulillah, makasih, makasih, Nak.” si Nenek mengambil uang itu lalu cabut begitu aja.

Si Somad bengong, “Lho, kok langsung pergi? Mana hadiahnya?” gumam si Somad bulet-bulet.

Mad, Mad! Itu nenek, bukan nenek ajaib. Tapi beneran nenek pengemis, Mad! Udah, biarin saja, ikhlaskanlah, supaya berkah dan membersihkan niat kamu tadi.

“Bodo, ah!” serobot si Somad judes bin pedes.

Tak lama, mulai berduyun-duyun para penikmat mie ayam di kedainya. Si Somad pun melayaninya dengan penuh suka cita dan sepenuh hati. Bagi si Somad, segala masalah boleh ada, yang penting dalam melayani pelanggan harus sebaik mungkin dan lupalah semua masalah yang ada selama ini.

“Aduh ya Allah.. putri Lulu dalam mimpi aye kok ye mirip banget sama Neng Nia, ayu sekali, duh.” tutur si Somad ngedadak sumingrah.

Si Somad rupanya inget sama perkenalannya dengan Neng Nia, tetangga baru di kampungnya itu. Saat itu..

Neng Nia hanya tersenyum belaka, “Saya tetangga baru disini, kang. Ini ada sekedar makanan dari ayah dan ibu sebagai ucapan silaturrahmi dari kami.” tuturnya sopan waktu itu.

Si Somad semakin melayang-layang dibuatnya, keringet berjatuhan satu-satu, mau dibikin romantis, tapi malah jadi bau amis!

“Mad, siapa itu yang datang?” Tanya Emak Romlah sambil berjalan ke depan. Si emak heran ngeliat kelakuan si Somad lantaran dari tadi diem saja.

“Masya Allah, Mad! Elu, ye! Ada tamu bukannya di suruh masuk ke dalem rumah, malah diantepin di luar.” Tegur Emak Romlah pada si Somad.

“Enggak apa-apa bu. Saya hanya sebentar kok, mengirimkan makanan ke sini sebagai ucapan silaturrahim dari kami tetangga baru di sini.” Sergah Neng Nia  seraya menyerahkan dua lapis rantang kepada Emak Romlah.

“Oh, iya Alhamdulillah. Terimakasih Neng. Ngomong-ngomong neng namanya siapa? Cantik sekali.” Tanya Emak Romlah.

Gadis itu tersipu malu, mukanya memerah, “Nama saya Neng Nia, Bu. Kalo begitu saya pamit dulu, masih harus mengantarkan makanan pada tetangga lainnya. Assalamu’alaikum.”

“Waalaikumsalam.” timpal Emak Romlah. Lalu meloneh eh menoleh ke arah si Somad..

“Astagfirullah, Mad! Hei nyebut mad, nyebut!” bentak Emak Romlah ngelihat si Somad senyum-senyum sendiri.

“Astagfirullah.” sahut si Somad gelagapan.”Iye, mak, maaf Mak, maaf, Somad salah udah ngabisin jatah telor goreng tadi pagi. Ampun, mak.! Ampuun.”

Emak Romlah melongo, “Ya Allah, ni anak kenape gak nyambung lagi ya!” lalu meninggalkan si Somad seorang diri.
Begitulah.

“Pokoknya aye harus bisa ngedeketin Neng Nia, tapi gimana ye caranye?” Tanya si Somad pada hatinya, bingung sebingung-bingungnya.

Pucuk di cinta ulam pun tiba. Di saat si Somad kehilangan ide datanglah dua sobat karibnya Togar Napitupulu dan Idan bin Indun.
Selepas mengucapkan salam, ketiganya langsung bersidang menentukan pendapat.

“Jadi, kau ingin mendapatkan cinta si Nia, bah?” Tanya Togar dengan logat Medan yang kental.

“Wah, eta mah, cemen. Bisalah aku atur.” imbuh Idan bin Indun yang orang Sunda melogatkan Medannya Togar jadi kedenger aneh.

“Aduh, makasih be’eng. Ngomong-ngomong pake komisi kagak?” Tanya si Somad.

“Nggak usah lah,” seru Togar, “Buat sahabat, apalah yang tak bisa dilakukan. Semuanya g.e.r.a.t.i.s!!! betul kan, Idan?”kata Togar sambil menoleh kearah Idan.

Idan bin Indun yang semula pengen komisi akhirnya mengalah, dengan terpaksa dia mengangguk setuju.
***

Siang itu begitu teriknya. Memanggang manusia hidup-hidup di bawah sorotan matahari yang menyakak kejam. Namun hal itu tidak menghalangi Neng Nia untuk belanja kebutuhan sehari-hari ke Warung Bu Acih yang lumayan lengkap di kampungnya itu dan pulang menenteng dua buah keresek item besar yang berisikan banyak barang bawaan.

Neng Nia terus melangkah menyusuri jalan setapak yang ada di sana. Situasinya begitu sepi. Ketika berada di belokan gang Kujang yang ditumbuhi semak belukar serta pohon bambu hijau yang melambai-lambai dan pekuburan rakyat yang bikin serem hati, tiba-tiba dia dicegat oleh dua orang pemuda yang berpakaian hitam, bersepatu hitam, berambut hitam dan bertopeng hitam menutupi mukanya kecuali matanya.

“Hah, colenak! Eh, penculik!” teriak Neng Nia.
Kedua pria bertopeng itu tertawa seram.

“Hahahaha, usaha yang sia-sia. Neng tidak bisa kemana-mana. Tempat ini sepi sesepi-sepinya, hahahaha..” kata si Jangkung.

“Sekarang, serahkan barang-barang berharga yang neng punya.” Bentak si Pendek.

Neng Nia gemetar ketakutan sambil terus menerus berucap, “Ampuun, ampuun, ampuunn..”

Kasihan sekali, Neng Nia menangis sesegukan.

Di saat genting itu munculah manusia bertopeng!
“Hei, beraninya cuma sama perempuan! Lepaskan dia pengecut!” seru manusia bertopeng itu. Pakaiannya serba merah. Celana merah. Sepatu bot merah, dan topeng berwarna merah tak ketinggalan sarung tangannya pun berwarna merah.

“Hah, siapa kamu?” Tanya si Jangkung agak kaget juga.

"Saya Supermad! Sekarang lepaskan gadis itu kalau tidak kalian akan saya hajar sampai babak belur!” ancamnya.

“Alaaaaaah, biar lu aja yang gua hajar! Nih!!” seruduk si Pendek melayang kan sebuah pukulan.

BUUUKKK…BRAAAKKK..CIIAAATT…HHAAIIITT….BBLEEESSS…
DUUUTT… eh yang ini mah suara buang angin.

“Lu belum tau ye, Supermad bisa pencak silat!” kata si topeng merah alias Supermad itu.

“Belagu lu!” respon si Jangkung.

PRAAKK..DEESIIGG…DUUKK…CCIIAA….SSHHAATT…BRAKK..

“AAAHHH…..” teriak si Jangkung kesakitan, sebuah tendangan lurus mendarat di dadanya dengan telak.

“AADUUHH..” raung si Pendek memegang pipinya, kena tonjokan keras.

“Gue rujak lu berdua! Nih…” ancam Supermad sambil mengepalkan tangannya keras-keras..

Namun sebelum itu terjadi, kedua bandit itu sudah kabur melarikan diri.

Angin sejuk membelai mesra, daun-daun satu persatu berguguran dari pohonnya.. beberapa peluh menyucur dari kening Supermad yang tak terkaver topeng itu. Sebuah tarikan napas panjang dia lakukan lantas menghembuskannya kembali dengan pelan. Terik mentari sudah mulai berkurang, ditutupi oleh iring-iringan awan menyejukkan.

Neng Nia melangkah perlahan, menuju Supermad.

“Te, terima kasih, telah menyelamatkanku.” ucapnya pelan.

Supermad bangkit dan berdiri tegak dengan gagahnya, namun tidak tersenyum seolah ingin menutupi sesuatu yang ada di balik bibirnya.

“Saya pergi.” kata Supermad.

“Tunggu!” cegah Neng Nia mengejar dengan gerakan slow motion, “Bolehkah aku mengetahui wajah pahlawan yang telah menyelamatkanku ini?”

“Baiklah.” Supermad menjawab. Kemudian dia memalingkan wajahnya sebentar. Tangannya bergerak melepaskan tali topeng yang menyembunyikan wajah aslinya itu. Lantas dengan pelan-pelan dia menghadapkan kembali wajahnya pada Neng Nia.

“Inilah saya.”

“Hah, Kang Somad!” potong Neng Nia, lalu pingsan dengan gemilang.

Si Somad melongo.
***

Keesokan harinya.
Kedai mie ayam si Somad buka lebih pagi. Dia sedang hepi, berbunga-bunga dan penuh bahagia. Ya, setelah usahanya berhasil menyelamatkan Neng Nia, dia semakin yakin bisa mendapatkan cinta gadis itu walaupun endingnya kurang sedap, lha wong Neng Nia malah mendadak pingsan.

“Apa wajah aye jelek, ya, min?” Tanya si Somad pada cermin kesayangannya.

Si cermin ngejawab, lagi-lagi dalam hati, “Gue udah bilang, lu jelek Mad! Lu nya aja yang nggak nyadar!”

Syukur deh si Somad lagi-lagi nggak ngedengerin umpatan si cermin maka dengan percaya diri kembali dia berkata, “Ah, barangkali Neng Nia terpesona melihat perform aye kemarin sampe pingsan sedemikian takjubnya.”

Sejurus kemudian Togar Napitupulu dan Idan bin Indun bertandang ke kedai mie si Somad dengan wajah pucat pasi kayak nasi basi.
Si Somad bangkit menyambutnya dengan penuh suka cita.

“Terima kasih fren, terima kasih!” ucap si Somad kepada Togar Napitupulu dan Idan bin Indun.

“Justru aku ingin minta maaf pada kau, Mad!” kata Togar Napitulupu dengan raut sedih.

“Sudah, gak usah minta maaf. Nih, aye traktir lu pade, makan mie ayam gratis di kedai ini seminggu full!”

“Tapi Mad,” si Idan menyela.

“Sudah, gak apa. Oh ya aye minta maaf ye kalo kemarin gebukan aye kenceng-kenceng. Maklum semanget banget buat mamerin kekuatan di hadapan Neng Nia. En lu pade tau? Neng Nia berterima kasih pada aye walaupun setelah itu die pingsan. Tapi tak ape-ape yang penting die sekarang tau ada aye yang jadi pahlawan buat die!” cerocos si Somad tanpa peduli ekspresi kedua sobatnya itu yang ngahuleng heran.

“Mad, yang kemarin menyerang kau itu bukan kita!” teriak Togar singkat.

“Hahaha, iya bener emang bukan kalian, hehe.” sahut si Somad terbahak-bahak, namun kemudian.,. “HAH! JADI YANG KEMAREN AYE SERANG ITU BUKAN LU-LU PADE?!” dengan suara langsung tujuh oktaf!

“Iya, sorry, gue kemarin ketiduran Mad! Baru bangun pas di ubrak-abrik sama si Togar. Dan saat gue udah nyampe lokasi siap aksi, kok ya lu udah tinggal berdua sama Neng Nia. Gue liat penjahatnya ngacir. Jadi, ya gue pikir.. lu emang menghadapi penjahat a.s.e.l.i Mad!” jelas si Idan bin Indun sambil nyeruput Sosro.

“Asereje last ketcup eh, astagfirullahah adzim! Jadi aye kemarin ngelawan penjahat beneran?” si Somad melotot lantas menatap Togar Napitupulu dan Idan bin Indun lekat-lekat.
Keduanya Cuma mengangguk doang..

“Oh, tidak! Gak, gak, gak, kuat, ah.” Lirihnya lemas, lalu semaput dengan suksesnya.

Tidak ada komentar

Diberdayakan oleh Blogger.