Udang Buat Seragam Ujang
“Nganco ki?”
Ki Ana hanya mengangguk pelan sambil terus menyusuri pematang ladang di tepian muara Ciujung. Kakinya gesit melewati tanah merah yang telah pecah. Pundaknya ringkih memanggul jaring halus yang lama tak dipakainya. Matanya yang tak lagi jernih mantap menatap harapan pada hamparan air, senja itu.
Sebenarnya sudah lebih dari dua tahun ki Ana tidak terjun ke muara. Rematik dan asam urat terlalu hebat untuk dihadapi oleh tubuhnya yang tak lagi tangguh. Ia lebih memilih menggiring kambing-kambing milik pa Idi ke pinggiran sungai, menanti mereka menikmati sisa-sisa rumput di musim kemarau.
Rengekan si Ujang lah yang telah menyulut darahnya, menguatkan tekadnya senja itu. Si Ujang yang baru masuk sekolah, ingin seragam baru, karena malu harus mengenakan seragam kusam pemberian tetangganya. Permintaan sederhana yang terasa mencekik bagi Ki Ana. Ia tahu bahwa sekolah tidak lagi memungut SPP. Namun, untuk membeli seragam, tentu tak ada toko yang secara gratis memberikanya. Ki Ana putar otak kiri otak kanan. Tak mungkin membagi lagi upah dua ratus ribu dari pa Idi yang terkadang kurang untuk membayar listrik dan membeli beras. Sementara si Ujang hanya punya dirinya. Ayah si Ujang meninggal sejak Ujang berumur 3 tahun. Ibunya yang juga mantu ki Ana menikah lagi dan enggan membawa si Ujang ke keluarga barunya.
Ada kemarahan yang coba ia redam setiap kali mengingat Ecih, mantu yang juga ibu si Ujang. Ki Ana tak habis pikir, bagaimana bisa Ecih tega meninggalkan si Ujang yang masih rindu belai tangannya. Meninggalkan ia di rumah sendirian, tanpa sempat pamit dan mengucap kata titip pada dirinya. Ki Ana masih ingat bagaimana si ujang terus menangis, bertanya tentang ibunya di hari kepergian Ecih. Ia pun masih ingat, kebohongan-kebohongan yang harus ia reka untuk meredakan tangisannya. ‘Ah…’ Ki Ana menghela nafasnya. Berat.
***
“Tong maksakeun Ki. Geus we yeuh pake duit Idi!” Pinta pa Idi sambil meletakan uang kertas biru dua lembar di samping jaring halus yang tengan dilipatnya.
Ki Ana tersenyum. Ia tak tahu bagaimana harus berterimakasih kepada laki-laki jangkung di hadapannya. Pa Idi sudah seperti malaikat yang Allah turunkan dalam wujud manusia baginya. Pa Idi sendiri sebenarnya bukan siapa-siapa. Hanya guru pendatang yang ditugaskan di desanya. Orang-orang sekitar memanggilnya pa Idi. Alasan ki Ana memanggilnya jang karena perbedaan usia yang terentang cukup jauh. Mungkin masih setengah dari usianya. Namun sosoknya yang arif dan ramah memunculkan ikatan batin khusus antara ia dan pa Idi. Tak pernah lagi ki Ana merasakan sakitnya lambung karena menahan lapar untuk makan si Ujang. Selalu saja ada kiriman dari tetangganya yang setiap minggu pulang ke kota itu. Tak perlu lagi ki Ana khawatir tentang si Ujang, karena semenjak ada pa Idi, si Ujang lebih rajin sholat dan mengaji.
“Jang, lain aki teu narimakeun. Ngan aki geus loba teuing hutang budi ka jang Idi.” Jawabnya lirih sambil mengembalikan uang tersebut ke tangan pa Idi.
“Ujang mah iklas ki.” Pa Idi kembali mendorong tangan ki Ana ke pangkuannya.
Ki Ana yakin bahwa pa Idi sedikitpun tak berniat mengambil untung atau berharap bahwa pinjamannya akan dikembalikan lebih. Namun, ki Ana sudah bertekad bahwa ia akan membeli sendiri seragam untuk si Ujang. Ia masih bisa. Otot-otonyanya masih cukup kuat. Ia yakin itu. Karenanya, ia terus menjelaskan pada pa Idi bahwa ia tak akan menerima uang itu, apapun alasannya.
***
Menjelang maghrib ki Ana baru selesai mempersiapkan anconya. Usia telah merenggut banyak hal darinya. Tangannya tak lagi tangkas saat memasang jaring pada anco. Kakinya berkali terpeleset oleh licinnya bambu rakit yang berlumut. Hanya iman, cinta dan semangat yang dapat ia jaga. Ketiganya telah menjadi harta yang tak kan ia biarkan dicuri siapapun. Saat adzan berkumandang, Ki Ana tak lagi berada di atas anconya. Pada sajadah merah hadiah lebaran almarhum anaknya tiga tahun lalu, yang terhampar di sisi muara, wajah tegas itu menghadap kiblat, basah oleh air wudhu. Ia sebenarnya ingin pulang, takut Allah murka karena tak ikut berjamaah di masjid dekat rumah. Berkali ia mengucap istighfar, teriring air mata, memohon keridhoanNya di senja itu. Namun hatinya tak kunjung tenang, hingga ia memohon dengan bahasanya.
“Gusti nu Maha Suci, mun seug lain lantaran kanyaah kanu boga incu anu ku Gusti titipkeun, kuring moal wani ninggalkeun masjid peuting ayeuna.”
Memang setiap akhir bulan hijriyah, saat bulan tak menampakkan wajahnya, muara Ciujung selalu dipenuhi para pencari udang, impun, dan tentunya ikan. Belasan anco hilir mudik mengitari muara dengan lampu minyak yang redup-terang, layaknya kunang-kunang. Jembatan Ciujung pun menjadi ramai oleh para pemancing lokal, berharap kakap, sengal, atau tengterongan mengisi koja mereka. Bahkan saat langit masih cukup terang, beberapa anak menyusur pinggiran muara dari atas rakit. Dengan jodang terikat pada rakit, mereka berangan dapat mengangkat kepiting dari dasar muara.
Ki Ana mulai menenggelamkan jaring saat semburat senja benar-benar tertelan malam. Ia lalu mengatur posisi patromak dalam saung, agar cahayanya tepat mengarah ke atas permukaan air di atas jaringnya. Selang waktu yang dihitung oleh perasaannya, Ki Ana mulai menaikan jaring dengan menekan dan menduduki bambu yang menjadi tuas anco. Benar saja, puluhan udang berlompatan di atas jaringnya. Segera ia mengambil lambit - saringan yang terhubung galah sepanjang tiga meter, mengeprak-geprak jaring, agar udang terkumpul di tengah lalu menciduknya. Dengan wajah ceria dan hati penuh syukur, ia membersihkan udang dari ikan-ikan kecil yang ikut terangkat.
Mungkin Allah tak murka atas absennya ia dari shalat berjamaah demi Ujang, cucu kesayangannya. Ki Ana yakin, hanya dengan ijin Allah lah udang-udang itu tertarik dengan cahaya patromak dari anconya, kemudian berkumpul di atas jaringnya. Setiap kali Ki Ana menekan tuas anco, udang –udang sebesar ibu jari berlompatan di atas jaringnya. Pemandangan yang bagi ki Ana jauh lebih indah dari kerlap-kerlip lampu anco, atau taburan bintang pada cerahnya malam.
***
Leave a Comment