Jam


Kamu berubah!
Itu yang aku pikirkan akhir-akhir ini tentangmu, Jam. Kamu tidak lagi seperti Jamjam yang dulu. Ceria, perfeksionis, doyan ngomel-ngomel jika kebutuhanmu tidak terpenuhi.

Aku memang hanya sahabatmu, barangkali ada di balik sana -kehidupanmu- yang tidak aku pantau dan tdak ku mengerti. Tapi aku tetap sahabatmu, kan?

Kamu sekarang pendiam, terlalu gampang menerima, enggak pernah marah-marah lagi jika kebutuhanmu gagal direalisasi. Kamu juga mulai tidak memikirkan nasib organisasi tempat kita bernaung. Kamu mulai egois saat ini, Jam.

"Apa alasanmu menilai aku sudah berubah?" tanyamu waktu itu, di serambi Masjid Agung. Ucapanmu begitu tegas. 

Aku memainkan pena di jemariku, berpikir masak-masak. Barangkali ada keluhanku yang tidak tepat tentangmu, ku hela napas sejenak, "Ya itu tadi, kamu mulai tidak peduli kepada kami." jawabku akhirnya.

"Tidak juga, kamu hanya mengada-ada." tepismu. Keningku berkerut, ekpresimu cepat sekali berubah Jam. Aku heran.

"Sudahlah, rasanya gak penting membahas itu. Kamu masih betah istirahat di sini? Aku mau pergi dulu." cecarmu padaku sambil berlalu.

Aku hanya diam terpaku, padahal dirimu yang mengundangmu ke mari. Sadarkah untuk memenuhi undangan ini aku harus mengorbankan kepentingan lain di waktu yang bersamaan. 

Tapi kamu tidak mengerti. Itulah mengapa aku katakan padamu, kamu berubah, Jam!
***
Ku susuri trotoar di Jalan Siliwangi itu. Melintasi salah satu SMA yang populer di Cianjur. Sambil memikirkan kelakuanmu waktu itu, Jam. 

Ah, bodohnya aku. Mengapa terus memikirkanmu. Padahal di dunia ini masih banyak yang harus aku pikirkan. Tapi akupun heran, kenapa semua syaraf-syaraf dalam otak ini hanya tersedot untuk memikirkanmu, yang mulai acuh tak acuh.

"Kamu yang mengubah alur hidupku, Jam," desir hatiku pelan. "Dulu, aku hanya manusia pemalas. Manusia pemakan waktu di tepi kamar tak tentu. Nihil dari kegiatan yang berharga. Hanya seperti seonggok patung tak berguna. Lantas kamu datang bersama teman-temanmu saat itu. Membagi-bagikan pamflet undangan dari organisasi yang kamu pimpin ke tempat di mana aku tinggal. Kehampaan itu sontak sirna. Rasanya seperti dahaga ini telah tertawarkan di tengah pada tandus, ya sebuah oase. Bersama kawanmu itu, ku temukan sebuah dunia yang tidak sendiri." ingatku sambil tersenyum. Sebuah senyuman yang mulai kecut. Semua itu, apakah kamu ingat, Jam?

Tak terasa tempat tinggalku mulai tampak. Ada beberapa anak yang sedang bermain di ayunan, berlari-lari, naik jungkat-jungkit. Ku buka gerbang rumah yang bercat putih itu. Sejenak ku lihat kembali sebuah papan yang tertempel kokoh di tembok depan rumah, "Panti Asuhan Anak Barokah"

Masihkah kamu tak sadar betapa pentingnya dirimu untuku, Jam?
***
Aku ingat, pukul sembilan pagi waktu itu, kamu mengirimkan pesan padaku, "Zah, kamu ada waktu siang ini? Ada rapat pengurus. Selain itu, ada yang ingin aku sampaikan padamu setelah rapat. Kamu bisa datang, kan?"

Tentu saja aku menjawab pesanmu dengan antusias, "Siap, aku bisa datang."
***
Sore itu, siluet Masjid Agung cukup nyaman di pandang. Orang-orang berlalu lalang menikmati senja. Tadi rapat sudah selesai. Dan ngobrol-ngobrol bersamamu pun sudah usai. Ku ingat kembali..

"Jam, maafkan atas sikapku beberapa hari kebelakang," kamu membuka percakapan serambi masjid yang penuh memori bersama kawan-kawan organisasi itu.

Aku menunduk dalam, memang tidak terbiasa memandang wajahmu. Aku malu. Terus terang aku pun mengerutu mengapa tidak kamu ajak seorang teman untuk mempertigakan perbincangan kita ini. 

"Aku ingin mengabarkan padamu sesuatu," lanjutnya, "Ya, aku minta maaf jika sikapku membuatmu dan teman-teman tidak nyaman akhir-akhir ini."

Aku menghela nafas, kenapa ucapanmu berputar-putar, Jam. Ku bisikkan itu dalam hati. Aku masih memberikan padamu kesempatan untuk berterus terang.

"Aku sedang sibuk," lanjutnya. Kembali ku hela napas, masih dalam hati aku menjawab, aku tahu Jam, setiap manusia pasti punya kesibukan sendiri.

Tiba-tiba, "Zah, aku sedang mempersiapkan pernikahan."

Kepalaku seketika terangkat, "Siapa yang menikah, Jam?" aku terpancing untuk bertanya.

Lantas kamu menjawabnya sambil tersenyum, "Tentu saja aku, Zah," lanjutmu, "Maksudku, maukah kamu dan teman-teman ikut membantu menyiapkan pernikahanku ini? Semisal menjadi panitia pernikahan."

Aku mencoba mencerna maksudmu, mengelola keterkejutanku, "Tentu, tentu aku akan siap membantumu, Jam." sambutku akhirnya. "Alhamdulillah, kapan pernikahan itu akan di gelar?"

"In syaa Allah sebulan kedepan, doakan ya. Dan terimakasih sudah mau membantu. Jadi, kini kamu sudah tahu kan mengapa akhir-akhir ini aku sedikit berubah? Tapi kamu harus tahu Zah, aku akan tetap membersamai organisasi ini. Percayalah." kata-kata itu terlontar darimu. Ku pikir ini adalah sebuah tekad yang bagus.

Setelah itu, kamu pamit untuk pergi. Setelah kepergianmu, baru ku sadar ada sesuatu yang mengganjal. Tentang rasa ini. Tentang mengapa aku memperhatikanmu. Tapi sudahlah, Jam. Kamu tidak perlu tahu. Cukup aku pendam dan menyemainya dengan kebahagiaan bahwa dirimu hendak menyempurnakan separuh agamamu.


Tanggeung - Cianjur

Tidak ada komentar

Diberdayakan oleh Blogger.